Mengenal Teknik Cetak Grafis: Cetak Tinggi
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Diantara teknik cetak grafis, cukil kayu (woodcut) merupakan teknik paling kuno sebelum ditemukan mesin cetak seni grafis. Diperkirakan telah ada sejak abad kelima, meskipun baru dikembangkan di Eropa sekitar abad ke-14. Teknik cukil kayu masuk dalam teknik cetak tinggi, dimana permukaan yang lebih tinggi akan terkena tinta warna dan dipindahkan ke dalam media cetak. Penggunaan cetak tinggi dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah stempel/cap baik yang berbantalan maupun yang tidak berbantalan.
Cetak tinggi adalah proses mencetak dalam seni grafis dengan memanfaatkan bentuk yang paling tinggi yang berasal dari plat klise untuk menghasilkan bentuk karya gambar. Plat klise tersebut bisa berupa bahan-bahan lunak dan keras semisal kayu/potongan kayu ataupun logam. Karena menggunakan acuan panel ukiran/pahatan atau panel relief yang lebih tinggi, teknik cetak ini biasa disebut cetak relief atau flexography.
Dari banyak teknik cetak tinggi, cukil kayu (woodcut) menjadi pilihan banyak seniman grafis dengan mempertimbangkan mudahnya mencari alat dan bahan, teknik pembuatannya yang relatif sederhana, namun tetap menghasilkan karya seni grafis yang impresif. Detail desain menjadi kekuatan sebuah karya seni cukil kayu. Muhammad "Ucup" Yusuf dari Taring Padi pernah membuatkan sebuah desain cetak kayu (woodcut) berbentuk rontek (round tag) dengan ukuran sekitar 150 xm x 150 cm dengan desain yang detail, dalam satu warna, dengan pesan jelas dan dalam kemasan yang impresif untuk sebuah gerakan masyarakat di Pegunungan Kendeng Utara.
Cetak relief dengan reduksi cukil di Indonesia yang banyak digunakan seniman grafis diantaranya adalah cukil kayu (wood cut), lino cut, Ukiyo-e atau Moku Hanga. Secara prinsip ketiga teknik memiliki kesamaan yaitu memanfaatkan bentuk yang paling tinggi sebagai plat cetak klise. Namun dalam penggunaan alat dan bahan terdapat perbedaan yang cukup signifikan kecuali untuk pisau cukilnya yang sama.
Pisau sebagai alat cukil kayu dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu viener (V), gouge (U), knife, dan chisel. Alat ini mempunyai berbagai ukuran. Perbedaan bentuk ini dimaksudkan agar dapat memberikan kemungkinan pilihan dalam penggunaannya. Jenis (V) berfungsi menggantikan pisau untuk membentuk garis, meskipun mempunyai karakter yang berbeda. Sementara jenis (U), bentuknya yang bulat akan menghasilkan efek cukilan yang berbeda dengan jenis (V). Alat cukil ini tidak hanya digunakan untuk kayu, namun bisa digunakan untuk mencukil linoleum.
Ukiyo-e, mencetak tanpa alat press, tanpa roll, tanpa scrap, dan warn-warni.
Cetak relief dengan reduksi cukil kayu Ukiyo-e atau dikenal juga dengan nama Moku Hanga berkembang pertama kali di Jepang sebelum ditemukan teknologi cetak saring (silk screen). Dengan memanfaatkan tekstur kayu, karakter media kertas cetak, desain, bahan pewarna, serta alat, hasil cetak dari ukiyo-e mirip dengan cetak saring. Bahkan dengan teknik tertentu dalam pewarnaan bisa dihasilkan gradasi warna pada hasil cetaknya.
Dalam pembuatan plat klise teknik ukiyo-e menggunakan bahan dari kayu dengan jenis tertentu. Biasanya didatangkan langsung dari Jepang. Selain lembaran kayu, bahan lain yang diperlukan adalah kertas waasi yang terbuat dari tanaman perdu murbei kertas (Broussonetia kazinoki atau dalam bahasa Jepang disebut koku), sifat kertas ini mampu menyerap tinta namun tidak menyebar (meleber) sehingga hasil cetaknya tetap rapi di bagian tepinya. Seniman grafis Indonesia sering mengganti kertas waasi dengan kertas telo yang mendekati kertas waasi namun harganya relatif lebih murah,
Tinta warna yang digunakan berbasis air (water based), lem kertas untuk tambahan pewarna. Sementara alat yang diperlukan adalah pisau cukil dengan berbagai bentuk mata pisau, penggaris, kuas/sikat khusus berbulu halus (maru-bake), serta baren, sebuah alat penggosok bagian belakang kertas yang dibuat khusus menggunakan daun bambu lebar pada permukaannya.
Dalam ukiyo-e dikenal istilah kento, suatu teknik register kertas sebagai patokan untuk mencetak karya multi-warna dengan tingkat presisi yang tinggi. Dalam teknik cetak ukiyo-e tidak menggunakan alat press, roll tinta, maupun scrap, karena untuk memindahkan warna dari platnya dilakukan dengan menggosokkan kertas dari sisi belakang menggunakan baren.
"Pada dasarnya semua jenis kayu bisa digunakan. Yang penting pori-porinya halus dan rata. Bahkan kayu Jati pun bisa digunakan, hanya kita gunakan yang terjangkau saja. Untuk jenis yang ada di Indonesia yang bisa dicoba adalah jenis sengon dan gmelina." kata Deni Rahman dari studio Grafis Minggiran. Dengan karakter kayu (tekstur dan pori-pori) tersebut, teknik ukiyo-e hanya pas untuk cat water based, lebih lanjut Deni menjelaskan.
Untuk membuat hasil karya ukiyo-e banyak warna, pertama kali adalah membuat desain warna yang sama persis sebanyak warna yang akan dicetak pada lembaran kayu yang sudah halus permukaannya. Pada salah satu sisi ujung masing-masing diberikan register kento sebagai penanda batas salah satu pojok kertas yang digunakan sebagai acuan. Kento memiliki ukuran dan posisi yang sama pada setiap plat sehingga bisa dijadikan patokan pada pencetakan warna lain pada kertas tersebut.
"Ukiyo-e itu satu warna satu layer, dua warna dua layer. Begitu seterusnya. Semacam multi-plate. Tidak dicukil habis, hanya bagian-bagian image-nya saja. Untuk lebih dari satu warna, gambar yang dibuat pada setiap layer harus sama. Untuk menjaga konsistensi saat pencetakan digunakan teknik kento. Biasanya diletakkan pada salah satu pojok layer, dibuat pada ukuran dan posisi yang sama." jelas Deni.
Setelah papan kayu direduksi untuk desain ukiyo-e, beberapa bagian yang memerlukan penghalusan di amplas dengan amplas halus ukuran 400-1000. Setelah dibersihkan dari debu sisa amplas, plat klise sudah bisa diberikan tinta warna. Pemberian tinta dengan menggunakan sikat maru-bake yang sudah diberi cat warna dengan disikatkan secara perlahan hingga merata.
Tinta warna biasa diberi campuran lem kertas untuk menambah daya serap pada kertas. Yang harus diperhatikan adalah penggunaan kento pada ujung kertas yang sudah ditandai agar pada pencetakan berikutnya bisa presisi. Pencetakan lebih dari satu warna menunggu sampai tinta warna sebelumnya kering agar sambungan cetakan warna bisa tepat.
Cukil kayu, mencetak banyak warna dalam satu plat
Berbeda dengan ukiyo-e, teknik cetak woodcut memanfaatkan serat kayu yang besar. Jika ukiyo-e menggunakan cat water-based, woodcut bisa menggunakan cat basis air maupun minyak. Banyak seniman grafis menggunakan tinta stensil untuk cetak offset untuk digunakan dalam mencetak desain woodcut.
Proses pencukilannya sama dengan ukiyo-e, namun untuk mempertegas desain seniman grafis biasa berimprovisasi menghasilkan desain yang detail dengan tarikan garis atau motif yang kecil/halus. Hasilnya, meskipun tercetak blok namun tetap ada gradasi ataupun detail yang kuat.
Selain bahan plat, teknik pewarnaan pada woodcut juga berbeda sehingga memerlukan alat yang berbeda pula. Setelah terbentuk desain kayu yang sudah tercukil, plat yang sudah jadi tetap memerlukan penghalusan dengan amplas.
Cat warna sebelumnya diratakan dengan roll di atas kaca. Perataan tersebut agar cat yang akan dipindahkan ke plat bisa rata sehingga hasil cetaknya pun merata. Untuk memudahkan meratakan cat di atas kaca biasanya menggunakan bantuan scrap untuk mengambil sedikit-sedikit cat dan dioleskan ke kaca untuk kemudian diratakan dengan menggunakan roll. Setelah cat rata menempel di roll, secara berulang-ulang cat dipindahkan dengan roll ke atas plat klise. Penge-roll-an plat dengan tinta dilakukan sampai plat klise benar-benar rata tertutup cat tinta. Plat klise pun sudah bisa dicetakkan ke media cetak. Media cetak bisa berupa kertas, kain, ataupun plastik dengan catatan media tersebut rata sehingga proses penekanan (pressing) saat pencetakan bisa merata.
Agung Hanafi dari PQX studio mempunyai teknik pewarnaan yang menarik sehingga dari satu plat klise woodcut bisa dicetak lebih dari satu warna. Sebenarnya hal ini biasa dilakukan oleh seniman grafis dengan mereduksi secara bertahap plat klise dan memberikan warna yang berbeda. Biasanya dengan menimpa warna awal, hasil cetaknya menjadi lebih gelap untuk bagian yang masih disisakan. Reduksi kayu dengan cukil bisa dilakukan sampai habis untuk menghasilkan banyak warna.
Jika dalam cetak ukiyo-e menggunakan teknik kento, Pekik demikian panggilan Agung Hanafi membuat alat bantu saat pencetakan yang memungkinkan posisi media cetak pada posisi yang sama pada saat dicetak dengan warna yang lain. Dengan alat bantu yang sederhana dari selembar plywood tebal yang diberi dua patok bambu kecil sebagai acuan tempat kertas, Pekik bisa membuat woodcut yang colorfull dari satu plat klise dengan tingkat presisi yang tinggi.
Seperti juga ukiyo-e, untuk pencetakan lebih dari satu warna dilakukan menunggu sampai cat warna sebelumnya benar-benar kering. Selain faktor ratanya cat warna pada plat klise, tekanan saat mencetak mempengaruhi penyerapan warna pada media cetak. Tekanan tersebut bisa dilakukan dengan cara sederhana mulai dari penggunaan sisi botol yang rata hingga menginjak-injak media cetak agar cat warna bisa berpindah dari plat klise ke media cetak secara sempurna.
Ketelitian dan ketelatenan, ini yang menjadi kekuatan dari teknik cetak tinggi ukiyo-e maupun woodcut karena meleset sedikit saat melakukan pewarnaan akan menghasilkan warna yang berbeda terlebih jika yang digunakan adalah wat warna proses.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...