Mengenal Tiga Nilai Revolusi Mental
JAKARTA SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq mengatakan slogan “Revolusi Mental” yang sering didengungkan oleh Presiden RI Joko Widodo jangan diterjemahkan sebagai program pemerintah yang sifatnya ceremonial.
Oleh karena itu, Fajar yang juga merangkap sebagai anggota dari Kelompok Kerja Gerakan Nasional Revolusi Mental ini akan merumuskan Tiga Nilai Revolusi Mental sehingga dapat lebih memberikan dampak yang nyata bagi kehidupan masyarakat.
“Ada tiga nilai yang ingin diinternalisasikan lewat perubahan ini,” kata Fajar dalam diskusi terkait Revolusi Mental di Gedung Sinar Kasih Jalan Dewi Sartika Cawang, Jakarta Timur, hari Rabu (13/1).
“Pertama adalah membangun integritas karena hanya pemerintah yang berintegritaslah atau pelayan publik berintegritaslah yang bisa membangun kepercayaan publik kepada pemerintah. Bagaimana jadinya bila rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada negara. Kan kontrak kita jelas, kita mempercayakan hak-hak kita kepada negara karena ada hak-hak politik.”
Selama ini, kata dia, ada tren bahwa masyarakat sudah kehilangan kepercayaan kepada lembaga penegak hukum. Misalnya Mahkamah agung atau Mahkamah konstitusi.
“Jadi pucuknya saja sudah ternoda bagaimana dengan ke bawahnya? Jadi, karena krisis integritas ini lah yang menjadi upaya bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat ini kepada pemerintah. Dan caranya apa? Ada perubahan. Integritas. Jadi, ini dari sisi pelayanan publik jadi barometer,” kata dia.
Kemudian, yang kedua adalah adalah membangun etos kerja. Etos kerja ini, kata dia, sangat berkaitan dengan komitmen membangun negara tanpa adanya keterputusan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain karena etos kerja ini mencerminkan kita sebagai bangsa punya komitmen untuk maju.
“Indeks pembangunan manusia kita tahun ini itu sebenarnya stagnan. Dulu tahun 2004 itu urutannya 108 dari 148 negara sekarang itu 110 dari 148 negara juga. Kalo menurut UNDP sih kita melihat ada kemajuan. Cuma kalau kita lihat yang lain majunya cepat berarti kita ini seperti siput jalannya. Ini sebenarnya suatu kritik juga bahwa pembangunan ekonomi kita yang cukup maju masuk G20 juga tidak berkolerasi langsung dengan indeks pembangunan manusia kita.”
Mengutip dari seorang budayawan yaitu Mochtar Lubis dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki Tahun 1977, karakter Indonesia adalah pemalas, tidak bertanggung jawab, munafik dan bermental budak. Memang, kata dia, pada saat itu menjadi kontroversi. Namun jika dibandingkan pada masa sekarang, menurutnya hal itu sangatlah relevan.
“Kritiknya adalah krisis manusia Indonesia berakar dari krisis mental. Maka kalau gerakan dari revolusi mental ini tidak membongkar krisis yang tadi maka sebenarnya ini percuma juga karena kita hanya membangun mindset yang sudah terbangun puluhan tahun yang lalu,” kata dia.
Kemudian nilai yang ketiga adalah gotong royong.
Dia menambahkan pemerintah juga seharusnya memfasilitasi komitmen masyarakat mewujudkan revolusi mental dengan cara yang kreatif. Ke depannya, kata dia, yang akan menjadi duta besar bagi revolusi mental adalah masyarakat itu sendiri di komunitasnya. Bahkan menjadi agen perubahan birokrasi.
“Jadi yang akan jadi dubesnya bukan lagi Menko PMK bukan lagi Jokowi atau siapa tapi itu adalah masyarakat sendiri. Masyarakat lah yang diharapkan bisa memberikan tekanan kepada birokrasi atau pemerintah untuk melakukan perubahan. Masyarakat sudah mau berubah kok kenapa pemerintahan nggak mau berubah?” kata dia.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...