Menghakimi Tanpa Introspeksi
Tengoklah ke dalam sebelum bicara!
SATUHARAPAN.COM – ”Oke Bu, aku enggak main-main ya, kalau sampai fotoku masuk koran, aku pun punya deking. Kutandai Ibu, aku ini anak Arman Depari, kutandai ya!” bentak Sonya kepada Ipda Perida Panjaitan saat hendak ditilang.
”Bah, songong kali pelajar ini ya! Bawa-bawa nama keluarga, ngakunya aja anak jenderal, kelakuan kek bocah ingusan, ga tau sopan santun sama orang yang lebih tua!” pikir saya setelah menyimak berita heboh dunia maya dengan tokoh antagonis pelajar yang baru saja merayakan usainya ujian akhir dengan konvoi mobil.
Tak sampai seminggu, muncul kabar duka yang seolah menandingi berita pertama. Ayah kandung Sonya Depari meninggal, disinyalir akibat tekanan batin yang diterimanya, buah dari perilaku anaknya. Tragis, saya pun miris, alih-alih mencari siapa yang salah pada peristiwa ini, menarik rasanya bila kita menyoroti peran publik (netizen) yang membuat kabar ini menjadi fantastis.
Sebagai bagian dari publik, ketika berhadapan dengan aparat yang hendak menegakkan hukum, adakah di antara kita yang selalu tanpa argumen membiarkan aparat menindak kita? Berapa banyak dari kita yang merasa memiliki ”keuntungan” jika memiliki kerabat pejabat? Jika kita tidak pernah bersinggungan dengan aparat, relakah kita saat ada orang lain yang menyatakan kesalahan kita tanpa ada kesempatan beralibi?
Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu mengenang kembali masa di mana seragam putih-abu-abu menjadi identitas. Membela diri sungguh jamak dilakukan ketika seseorang merasa terancam. Terlebih dalam diri pelajar SMA yang haus akan aktualisasi diri. Belum lagi semangat yang membubung kala berada dalam koloni.
Jika demikian, apakah kita bisa membenarkan perilaku Sonya? Dari sudut pandang mana pun, tidak ada yang dapat menyatakan bahwa sikap yang ditampilkannya benar. Namun, publik perlu mengakui bahwa yang dilakukan oleh Sonya bukan hanya terjadi kali ini, bahkan mungkin kita juga pernah berada pada posisi serupa dalam hal membela diri dan membawa nama kerabat yang dianggap berkuasa.
Kebebasan berpendapat yang dimiliki publik, dicampur dengan gencarnya media massa memberitakan kasus ini ditambah akses media sosial sebagai katalisnya, menjadi gempuran telak bagi setiap orang yang terlibat dalam peristiwa ini. Bukan hanya Sonya yang dijadikan sasaran tembak publik. Polwan yang melepaskan gerombolan ABG tatkala Sonya menyebutkan nama ayahnya Arman Depari (yang belakangan diketahui hanya sebagai pamannya), dianggap terlalu lembek dalam penegakan hukum. POLRI pun mendapat getahnya karena dianggap institusi yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Hingga akhirnya berita kedua mengemuka, yang membuat publik mengalihkan sudut pandangnya, temasuk saya.
Sonya hanyalah satu dari sekian banyak potret sosial dari masyarakat yang masih memiliki mental ketidakpatuhan dan kebergantungan pada relasi dengan penguasa. Apes saja baginya karena momennya terabadikan dan tersebarluaskan. Publik pun tidak segan-segan melontarkan penghakiman padanya.
Andai Nabi Isa hidup di zaman kita, belum tentu Dia akan langsung menghakiminya. Lalu, mengapa kita justru berlomba melempar batu-batu virtual hingga berujung maut bagi ayahnya? Mari kita taruh batu yang telah kita pungut, bukan semata-mata karena iba dengan kematian ayahnya, namun karena sadar diri begitu mudah menghakimi tanpa introspeksi. Ya, mengutip syair Ebiet G. Ade, ”Tengoklah ke dalam sebelum bicara!”
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...