Menghapus Status Quo Lapas di Indonesia
Peredaran narkoba justru sering dikendalikan dari dalam lapas. Lalu apakah privatisasi lapas jadi jawaban?
Jakarta, Satuharapan.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengancam akan memidanakan jajarannya jika terlibat dalam peredaran narkoba. Dia mewanti-wanti tidak akan ada toleransi untuk para petugas lapas yang terlibat dalam peredaran narkoba di penjara. Berbagai tes urine menurutnya sudah dilakukan di instansinya. Tindakan ini diambil setelah pembakaran rumah tahanan Malabero yang menemukan praktik jual beli narkoba melalui telepon seluler masih terus terjadi.
Praktik jual beli narkoba, over kapasitas, jual beli kamar, jual beli fasilitas, dan akses keluar masuk penjara memang masih terus terjadi. JIka kita mundur sedikit ke belakang, tentu kita masih ingat peristiwa kerusuhan yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta Kelas I Medan yang mengakibatkan lima orang tewas, 200 narapidana melarikan diri, serta kerusakan lapas. Lapas di Indonesia sendiri memang masih jauh kata layak untuk dihuni oleh para narapidana.
Sejarah Lapas
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal empat tahap proses pembinaan, yaitu Pertama, setiap narapidana yang ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran. Kedua, jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya maka akan diberlakukan pengawasan medium security. Ketiga, jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama setengah dari masa pidananya maka diperbolehkan memperoleh asimisilasi di masyarakat di luar Lapas. Terakhir, keempat, jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama dua per tiga dari masa pidananya yang sebenarnya, maka akan ada pengusulan untuk pembebasan.
Jika mengacu kepada UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan maka Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).
Privatisasi Lapas
Privatisasi Lapas sendiri tidak muncul tanpa sebab. Asumsi bahwa para petugas lapas sudah tidak punya moral dan mudah untuk terbeli memang paling banyak menjadi pertimbangan wacana ini digulirkan. Di samping faktor bahwa pengelolaan lapas memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena membutuhkan pembiayaan yang besar karena mengurusi 138 ribu jiwa lebih. Ini tentu menjadi pertimbangan sendiri jika melihat angka yang cukup besar tersebut. Privatisasi Lapas diperlukan jika melihat paradigma hampir seluruh tindak kejahatan selama ini hanya berorientasi tindak pidana yang berakhir di penjara.
Dr. Rudi Satrio Mukantardjo, pakar hukum pidana Universitas Indonesia pernah mengatakan privatisasi lapas juga dapat mengurangi beban pemerintah yang selalu kekurangan anggaran untuk mengelola lembaga pemasyarakatan dengan segala tuntutan prinsip-prinsip pembinaan yang manusiawi. Selain itu, privatisasi lapas dapat mengurangi tingkat kerusuhan di dalam lapas karena napi memiliki kesibukan. Berbagai kerusuhan di dalam penjara terjadi karena napi banyak mengangur. Pertimbangan lain, privatisasi menjadi solusi agar napi bisa menjadi manusia produktif dan berperan serta dalam pembangunan bangsa sebgaimana amanat UU.
Salah satu ganjalan pelaksanaan privatisasi lapas adalah karena privatisasi dianggap tabu oleh masyarakat meskipun model-model privatisasi seperti di Australia, Amerika, Inggris, Hongkong dan Singapura sudah menunjukkan hasil yang bagus. Ditambah, aparatur lembaga pemasyarakatan cenderung mempertahankan "status quo" karena mereka dapat mengambil keuntungan pribadi dari sistem pemasyarakatan yang masih sarat dengan unsur-unsur pemenjaraan.
Penulis adalah Anggota Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP-GMKI) dan Peneliti Centre for People Studies and Advocation (CePSA). Twitter : @AmosKalit
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...