Loading...
OPINI
Penulis: Rony C. Kristanto 00:00 WIB | Kamis, 21 April 2016

Strategi Geografis Ahok: Fasis atau Demokrat?

Kebijakan Ahok dalam menata ruang Jakarta kerap menimbulkan kontroversi. Apakah ada strategi besar yang ingin diraihnya?

SATUHARAPAN.COM - Kota-kota besar di dunia ini sedang dibangun dengan keseragaman. Salah satu ciri utamanya menurut David Harvey, seorang pakar geografi dari City University of New York, adalah munculnya bangunan-bangunan menjulang yang terutama bukan dimaksudkan untuk dihuni namun untuk investasi.

Kondominium dan apartemen mewah yang harganya terus melejit itu menyebabkan kelas menengah dan masyarakat miskin harus tersingkir dari pusat-pusat kota. Karena harga tanah di sekitarannya turut melejit di luar kemampuan kantong mereka.

Anehnya banyak dari bangunan menjulang ini bukan dibangun dengan maksud utama sebagai hunian. Namun lebih sebagai investasi untuk memarkir uang, yang bisa jadi merupakan pencucian uang hasil suap ataupun korupsi.

Tapi mengapa seolah kita bungkam pada jurang kesenjangan semacam ini? Padahal ini bukan hanya potret negara-negara dunia ketiga, tapi juga merata di negara-negara yang katanya maju itu. Harvey berpendapat bahwa hal ini terkait dengan lumpuhnya kesadaran warga sehingga demokrasi menjadi formalitas saja.

Menariknya Harvey mengkaitkan kelumpuhan demokrasi ini dengan kajian geografis terkait pembangunan kota. Kebijakan pembangunan memang seolah diarahkan untuk menegaskan segregasi kelas.

Melambungnya harga tanah akibat pembangunan hunian susun super mewah itu menyingkirkan manusia-manusia kalah ke pinggiran kota dan kerap kali juga melahirkan hunian liar ataupun perkampungan kumuh. Jangankan kelas bawah, kelas menengah saja tak punya daya mengaksesnya.

Mengapa kelas menengah dan bawah ini harus disingkirkan dari denyut kehidupan di pusat perkotaan? Salah satunya karena kalangan atas tak mau kehilangan keistimewaan yang menjadi penanda kelas mereka. Masakan sudah membeli kondominium, tapi di sebelahnya berdiri rumah susun dengan jemuran pakaian lusuh berkibar dari jendela.

Yang masih menjadi tanda tanya adalah mengapa seolah kelas menengah dan bawah ini tak berdaya menyuarakan ini semua? Harvey, memakai kacamata geografi, mengatakan bahwa kelas menengah dan bawah tak punya simpul-simpul komunitas yang potensial untuk membicarakan, mengkaji dan menyuarakan kenyataan yang mereka hadapi. Padahal kesadaran warga ini merupakan tulang punggung demokrasi substansial.

Lalu apa yang melumpuhkan prasyarat demokrasi substansial ini? Rupanya para birokrat korup yang kongkalikong dengan para kapitalis, entah dengan kesadaran atau tidak, juga memakai strategi geografi untuk hal ini. Salah satunya dengan memberi prioritas untuk pembangunan pusat perbelanjaan modern atau Mal.

Mengapa Mal strategis? Karena meskipun manusia beragam kelas bertemu di situ, namun interaksinya sangat minim. Alias ruh individualisme yang mendominasi. Meski kelas menengah nampaknya masih merasa nyaman saja dengan hal ini.

Dengan rendahnya kesadaran warga, maka para birokrat korup dengan mudah dapat menjaga status quo-nya. Mereka cukup bermodalkan pencitraan dan serangan fajar menjelang pemilihan. Tak harus repot membuat pembuktian atas janji-janji kampanye.

Di saat yang sama sebagian kelas menengah yang punya kesadaran personal namun tak punya jaringan memilih untuk mengabaikan hak pilihnya, pelesiran di hari pemilihan, atau maksimal dengan memaki-maki lewat akun media sosialnya. Dengan demikian pelumpuhan demokrasi substansial mencapai tujuannya.

Lantas apa strategi geografis untuk menghadapinya? Tentu yang pertama dengan mendekatkan warga kelas menengah dan bawah ke pusat kota. Tidak bisa lain kecuali dengan menyediakan hunian yang terjangkau di pusat kota. Sehingga kelas menengah dan bawah juga bisa hadir dan terlibat.

Tapi pertanyaannya: siapa yang punya kemampuan untuk mengeksekusinya? Mungkinkah para politisi dan birokrat korup mau status quo-nya terganggu? Atau mungkinkah kelas atas rela privilege-nya terusik?

Sedangkan strategi kedua, menurut Harvey, ialah memperbanyak ruang publik non-Mal. Sehingga interaksi warga bisa terbangun, kesadaran meningkat dan kemudian jaringan dan kemampuan untuk menyuarakan aspirasi pun terbangun. Warga jadi punya nilai tawar lagi.

Dari dua strategi geografi Harvey itulah saya teringat pada sebuah anomali di ibukota negara Indonesia. Di sana sedang ada seorang gubernur yang mendekatkan warga kelas menengah-bawah ke pusat kota dengan membangun hunian susun dan menjamin bahwa hak-hak itu bisa dinikmati oleh mereka. Sedangkan di belasan lokasi di kota Jakarta itu Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) telah diresmikan dan puluhan lainnya sedang dalam proses perencanaan, pencarian lahan dan pembangunan.

Dari dua strategi geografis ini saja terbuka sebuah harapan akan terciptanya interaksi yang akan berujung pada lahirnya kesadaran warga. Kesadaran ini adalah modal dasar untuk terwujudnya masyarakat demokratis yang dapat andil dalam menyuarakan hak-haknya.

Kesadaran warga inilah yang selama ini ditakuti oleh para politis dan birokrat korup beserta pemodalnya. Itulah sebabnya selama ini warga miskin dibiarkan saja menghuni bantaran kali dan banyak lokasi yang semestinya dapat dialokasikan untuk ruang publik non-Mal. Mereka tak perlu digusur supaya suaranya mudah dibeli tiap lima tahun sekali.

Demikian pula dengan kelas menengahnya. Mereka akan menyingkir dengan sendirinya dari pusat kota karena tak mampu membayar uang muka dari hunian mewah itu. Kegusarannya cukup terlampiaskan lewat media sosial. Sehingga mereka cukup puas bila bisa mengunggah informasi grafis tentang kegiatan terkininya sembari menyeruput segelas kopi waralaba di sebuah pusat perbelanjaan, yang memang sejatinya dimaksudkan untuk meredupkan daya kritis dan melumpuhkan potensi komunalnya.

Memang konon persoalan bisa dilihat dari sudut pandang mata cacing atau mata burung. Yang pertama memilih untuk melihat detail dan kenyataan yang ada di depan mata saja. Sedangkan yang kedua mengambil jarak dan melihat secara lebih luas konteks dari obyek yang diamati tersebut. Keduanya tentu perlu saling melengkapi.

Tapi semakin hari pro-kontra terhadap kebijakan Gubernur DKI Jakarta sudah semakin emosional dan bahkan situasional. Baik yang mendukung maupun yang menentang nampak enggan, atau bahkan tak mampu, mengambil jarak dan mencari kerangka berpikir yang lebih menyeluruh untuk melihat anomali ini sebagai sebuah panorama.

Tulisan ringkas ini tidak dimaksudkan untuk melegitimasi kasus per kasus kebijakan sang petahana. Namun sebuah cetusan, agar mereka yang mendukung maupun yang mengkritisi juga mau sedikit berupaya mencari kerangka berpikir yang lebih menyeluruh untuk membaca anomali ini. Bukannya justru semakin reaktif dan terkesan didikte oleh pemberitaan media, apalagi yang ‘digoreng’ oleh lawan-lawan politiknya.

Seperti halnya David Harvey yang gelisah ketika melihat kesenjangan dan konflik sosial terjadi di depan matanya ketika ia tiba di Baltimore pada akhir 1960an. Ia kemudian mencari kerangka analisis yang melahirkan kajian geografis terhadap kapitalisme dan demokrasi. Dari kerangka analisis Harvey itulah, dari dua hal yang sedang dilakukan Ahok, dengan membangun puluhan ribu unit rumah susun dan puluhan lokasi RPTRA, bisa dibaca sebagai sebuah strategi geografis jangka panjang. Tujuannya untuk membangun interaksi dan kesadaran warga demi terwujudnya demokrasi substansial di negeri ini, dimulai dari Jakarta sebagai etalasenya.

 

Penulis adalah mahasiswa University of Birmingham, UK

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home