Mengintip Pandangan 5 Pemimpin KPK Baru Soal Revisi UU KPK
SATUHARAPAN.COM – Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah memilih lima pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, hari Kamis (17/12) malam. Agus Rahardjo terpilih sebagai Ketua KPK, sementara empat nama lain adalah Alexander Marwata, Saut Situmorang, Laode Muhammad Syarif, dan Basaria Panjaitan.
Hari ini, Jumat (18/12), mereka pun akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, kemudian diserahkan kepada Presiden Republik, Joko Widodo, untuk segera dilantik. Setelah dilantik, salah satu tantangan awal yang akan dihadapi oleh kelima pemimpin KPK periode 2015-2019 ini adalah revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah masuk dalam draf Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015.
Rencana revisi UU KPK itu sangat mendapat sorotan publik, lantaran berdasarkan draf yang telah beredar dianggap melemahkan KPK, mulai dari adanya usulan pembatasan usia KPK selama 12 tahun, kewajiban izin penyadapan, kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), hingga kewenangan penuntutan.
Jadi, sebelum lima orang itu dilantik, ada baiknya sedikit mengintip pandangan mereka terhadap rencana revisi UU KPK, berdasarkan hasil pemaparan mereka saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan dengan Komisi Hukum DPR.
1. Agus Rahardjo
Usia KPK 12 Tahun?
"Tidak sependapat jika usia KPK dibatasi. Selama korupsi masih seperti hari ini, lembaga KPK masih harus ada, tidak boleh dihilangkan."
Pembatasan perkara korupsi yang ditangani KPK?
"Kalau operasi tangkap tangan, tidak bisa pilih-pilih kasus korupsi. Kalau di luar tangkap tangan, bisa saja KPK hanya menangani kasus korupsi di atas 50 miliar rupiah. Namun, yang harus dipastikan, KPK bisa memaksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kasus-kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan."
Kewenangan penuntutan KPK dihapus?
"Untuk efisiensi pengusutan kasus-kasus korupsi, saya setuju penuntutan tetap berada di bawah kendali KPK. Jika penuntutan dikembalikan ke kejaksaan, proses penuntutan bisa berjalan lambat dan kualitas penuntutan bisa kurang sempurna."
Penyadapan harus meminta izin kepada ketua pengadilan negeri?
"Jika penyadapan harus izin ketua pengadilan, penyadapan berpotensi tidak efektif lagi untuk menangkap koruptor."
2. Basaria Panjaitan
Revisi UU KPK?
"Sepanjang untuk perbaikan, saya kira revisi itu perlu."
Penyadapan harus meminta izin kepada ketua pengadilan negeri?
Menurut Basaria, penyidik KPK tak perlu mengantongi izin dari pengadilan jika ingin melakukan penyadapan.
"Bukan berarti tidak perlu izin dari pengadilan, tetapi cukup dari pimpinan KPK saja. Itu nanti bisa disamakan ketentuannya seperti UU Terorisme dan UU Psikotropika."
Menurut Basaria, beberapa pasal yang perlu mendapat perhatian dalam pembahasan revisi itu di antaranya terkait pengangkatan penyelidik dan penyidik di lingkungan KPK, serta wewenang penyadapan yang dimiliki lembaga antirasuah itu.
Jika mengacu pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka penyadapan yang dilakukan KPK seharusnya baru dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari pengadilan terlebih dahulu.
Dia menambahkan, yang perlu diatur dalam penyadapan yakni berapa lama batasan waktu penyadapan boleh dilaksanakan. Termasuk juga siapa yang berhak melakukan penyadapan.
3. Alexander Marwata
Usia KPK 12 Tahun?
"Harus dilihat kebutuhannya. Jika dalam usia 12 tahun ternyata korupsi belum hilang, apa kemudian KPK akan dihapus? Kan tidak juga."
Pembatasan perkara korupsi yang ditangani KPK?
"Sebetulnya kalau masalah besaran itu relatif. Kayak operasi tangkap tangan, tidak ada yang di atas Rp 50 miliar. Apakah setelah ditangkap KPK langsung diserahkan kepolisian ke kejaksaan? Itu kan harus ada pengaturan lagi. Kalau dibatasi pada masalah kerugian negara, saya pikir saya juga tidak sependapat."
Kewenangan penuntutan KPK dihapus?
"Dibentuknya KPK supaya pemberantasan korupsi berjalan lebih efektif, efisien. Salah satunya menggabungkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Selama ini kan kalau ada perkara di kepolisian atau kejaksaan, selalu bolak-balik berkas. KPK tidak demikian karena semua satu atap. Itulah mengapa pemberantasan korupsi oleh KPK lebih efektif. Oleh karena itu, saya melihat hal itu masih dibutuhkan oleh KPK."
Penyadapan harus meminta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri?
"Kalau yang disadap hakim bagaimana? Susah kan. Tidak akan efektif. Kemudian bisa saja yang terjadi begini, saat izin penyadapan dari pengadilan keluar, orang yang diduga korupsi justru tidak lagi melakukan tindak pidana korupsi. Percuma juga kan. Kalau pemberitahuan, saya masih bisa menerima, tetapi bukan izin."
4. Saut Situmorang
Revisi UU KPK?
"Ya memang harus direvisi, kita kan sudah meratifikasi UNCAC, dan UU KPK dibuat sebelum UNCAC, jadi memang harus banyak perubahan."
KPK diberikan kewenangan mengeluarkan SP3?
"SP3 ini perlu, tidak manusiawi kalau tidak ada SP3. Lagi pula nanti juga akan ada Dewan Pengawas yang akan mengawasi kan."
5. Laode Muhammad Syarif
KPK diberikan kewenangan mengeluarkan SP3?
"SP3 saya pikir bisa diberlakukan, tetapi catatan saya, jangan sampai SP3 disalahgunakan sebagai ada abuse of power (penyalahgunaan wewenang)."
Dia menjelaskan, pada awalnya KPK tidak diberi kewenangan SP3 juga karena khawatir disalahgunakan.
Apalagi, ada lembaga penegak hukum lain yang sering memanfaatkan SP3 sebagai gertakan dalam menyidik seseorang.
Meski demikian, di sisi lain SP3 bisa dibutuhkan KPK saat orang yang diproses secara hukum sudah tidak memungkinkan untuk dituntut, misalnya orang yang sakit dan meninggal dunia.
"Itu mengapa harus ada dua alat bukti di KPK, supaya hati-hati, menjaga agar tidak terjadi kezaliman," kata Syarif.
Editor : Sotyati
Polri Tangkap Buron Pengendali Clandestine Lab di Bali Asal ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengamankan satu orang dar...