Menikmati Cara Menunggu
Kita perlu menahan ambisi yang meletup-letup.
SATUHARAPAN.COM – Sepuluh menit sebelum boarding, kedengaranlah woro-woro pesawat delay di seantero ruang tunggu Terminal 3 Bandar Udara Soekarno Hatta.
”Yaahhh! Kumat nih tukang delay!”
”Tahu telat begini, tadi enggak usah ngebut-ngebut ke bandara.”
”Terus mau ngapain 60 sampe 90 menit nunggu?”
”Nggak sekalian 120 menit biar bisa dapat kompensasi?”
”Aku sih enggak butuh kompensasi, tapi aku butuhnya cepet berangkat.”
Reaksi spontan, ada yang sekedar gumaman, ada pula yang omelan. Termasuk dari rombongan saya yang terdiri atas 6 orang. Terbayang di benak kami dan semua penumpang korban keterlambatan maskapai ini, satu jam sampai satu setengah jam, mau ngapain?
Pesawat delay, apa lagi di pengujung hari, malah aneh kalau terbang tepat waktu. Alasan operasional menjadi tameng perkasa yang disodorkan kepada para penumpangnya. Apa maskapai tidak mau tahu kalau para penumpangnya sedang tergesa?
Mau tidak mau menunggu. Dengan caranya masing-masing demi membunuh waktu. Semua tampak sibuk: sibuk update status, sibuk bergosip, sibuk duduk, sibuk mengantuk. Untungnya saya membawa buku tentang kisah perjalanan seorang TKI di Arab Saudi. Lumayan. Saya dapat pengetahuan, bonus hiburan. Saya mendapatkan cara yang menarik untuk menikmati waktu menunggu tanpa mesti menggerutu.
Kebetulan dua hari lalu saya selesai membaca buku yang lain. Sebuah novel sastra lawas dari Arswendo Atmowiloto berjudul Canting. Saya stabilo kalimat mutiara yang demikian: ”Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati.”
Saya rasa menunggu adalah fase yang harus kita lewati dalam hidup. Menunggu apa saja, mulai dari menunggu nasi masak, menunggu pesawat datang, sampai menunggu pekerjaan impian. Menikmati cara menunggu, memberi kita pikiran yang lebih adem, meski tak mampu menghentikan putaran jarum jam. Target dan fokus kita menjauh lantaran kelamaan menunggu. Memang diusahakan kita tidak kehilangan arah. Namun, coba saja menghayati, barangkali ada titik-titik lain yang layak disimak.
Kalau kita hampir hilang kesabaran saat harus menunggu, ingatlah bahwa kita dididik untuk menahan ambisi yang meletup-letup, kita dididik untuk mengatur ego di hati, kita dididik untuk bijaksana. Meski kata orang menunggu itu membosankan. Namun, kita punya pilihan untuk larut jenuh, atau menikmatinya tanpa mengeluh.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...