Menilik GKP Menyerukan Keberagaman di Tanah Pasundan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gereja Kristen Pasundan (GKP) adalah gereja khas yang cikal bakalnya telah dimulai sejak tahun 1851 melalui Lembaga Pekabaran Injil Genootschap voor Inen Uitwendige Zending te Batavia (GIUZ). Gereja ini berdiri di tengah masyarakat etnis Sunda yang terkenal dengan keramahannya dan mayoritas beragama Islam.
Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan Pdt. Supriatno menceritakan kepada satuharapan.com pada Rabu (29/7) bahwa masyarakat etnis Sunda memang terkenal sangat ramah, halus dan terbuka. Jika ada resistensi, tindakan mereka pun hanya menghindari secara halus. Namun, kata dia, memang ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak apresiatif terhadap kemajemukan belakangan ini.
“Mungkin paham keagamaan yang tidak mendidik orang untuk berpikir dan juga melakukan sesuatu yang sifatnya apresiatif dan yang berbeda. Jadi kami tinggal di wilayah itu sekarang, yang dari dulu sebenarnya GKP belum pernah mengalami bentuk ekspresi anarkis. Seperti gedung ibadah dirusak. Itu (gedung dirusak) ratusan tahun tidak ada. Tapi resistensi itu ada, tapi halus,” kata dia.
Menurutnya, paham radikal bisa menjadi salah satu faktor yang distimulan sehingga akhir-akhir ini sulit untuk menerima keberagaman. Selain itu, faktor demografi juga mempengaruhi. “Banyak gereja-gereja itu ditolak karena tadinya lingkungan itu homogen berubah menjadi heterogen,” kata dia.
Contohnya adalah GKP Dayeuhkolot di Bandung yang ditutup secara paksa pada tahun 2005 lalu. Hingga saat ini, kata dia, gereja itu tidak memiliki tempat beribadah yang tetap (nomaden). Begitu juga yang terjadi dengan GKP Ketapang yang ikut ditutup pada Juli 2005 lalu.
“Itu kan daerahnya tadinya homogen. Tapi jadi heterogen karena daerah industri. Tadinya orang tidak melihat ada gereja sekarang ada gereja. Tadinya melihat ada Muslim sekarang ada Kristen. Itu kan orang tidak mudah mengadaptasi perubahan demografi. Nah itu kan distimulan. Apalagi ditambah dengan yang Anda bilang aliran wahabi yang memang bisa terancam dengan keragaman dari segi ajaran, dari segi agama itu kan menstimulan. Itu semua tenunan yang menjadi sebuah kekuatan yang menolak Kristen.”
Berelasi dengan Muslim Moderat
Supriatna kemudian mengungkapkan bahwa untuk menangkal stimulan-stimulan tersebut pihaknya memperkuat relasi dengan elemen-elemen dari Muslim moderat. Setiap tahun, kata dia, pasti membuat program interfaith yang terencana. Yaitu, Interfaith Youth Camp yang diikuti oleh kurang lebih 100 anak-anak muda.
Dalam kegiatan ini, anak-anak muda diajarkan untuk menerima keberagaman melalui permainan dan seminar yang sederhana sehingga mampu diserap dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Dampak signifikan yang bisa kita lihat adalah perubahan paradigma (cara berpikir). Ada orang yang tadinya asing, curiga terhadap kekristenan itu berubah. Dan itu digugurkan melalui acara-acara kami itu. Itu kan ada sesi-sesi untuk menggugurkan kecurigaan. Itu biasanya setiap ada acara terlihat sekali perubahannya. Mereka jadi dekat lalu relasi dan hubungan tetap terjaga.”
Selain itu, perubahan lain yang terjadi adalah bukan hanya terjadi pada individu saja tapi juga sosial. Misalnya dengan membuat buku yang akan membuka paradigma pembacanya. Kemudian mengadvokasi jika ada penutupan-penutupan gereja.
Supriatno juga mengungkapkan bahwa selain melalui buku, anak-anak muda itu juga menyerukan keberagaman dengan media sosial seperti Facebook dan Twitter sehingga yang tidak terjangkau menjadi terjangkau.
Harapan di HUT Ke-70 RI
Supriatno berharap bahwa memasuki usia Indonesia yang ke-70, regulasi pemerintah khususnya mengenai kebijakan kebebasan beragama dan beribadah harus diubah. Menurutnya, regulasi negara terkadang berkontradiksi dengan regulasi lokal.
“Itu contohnya banyak sekarang regulasi negara kan ada di Surat Keputusan Bersama Dua Menteri (SKB 2 Menteri). Kalau kami membuat untuk (GKP) Ketapang dan Dayeuhkolot itu susah karena masyarakat punya regulasi sendiri. Misalnya kalau ada yang tidak setuju, masyarakat batal. Itu kan regulasi tertentu. Yang satu sudah mempersulit, lalu regulasi sosial sudah mempersulit lagi. Nah kalau regulasi negara saja sudah susah apalagi ditambah dengan regulasi sosial.”
Selain dari sisi pemerintah, Supriatno juga berharap ada kekuatan yang besar dari rakyat untuk menyuarakan keberagaman. Menurutnya, di negara-negara besar justru kekuatan suara rakyat ini yang mendominasi atau memberikan perubahan secara signifikan. Jadi, kalau semua masyarakat Indonesia bergerak menyerukan keberagaman maka lingkungan yang kondusif untuk bebas beribadah akan tercipta.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...