Menjadi Murid
Murid beda dengan simpatisan.
SATUHARAPAN.COM – ”Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk. 14:26).
Pernyataan Yesus itu lugas dan tegas; terkesan keras. Mengapa Dia melakukannya? Bagaimana jika para pendengar-Nya mutung?
Untuk memahami tindakan-Nya, kita perlu menelaah konteksnya: ”Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.” (Luk. 14:25).
Demikianlah faktanya: orang banyak mengikuti Yesus. Dan yang dimaksud Lukas dengan ”perjalanan-Nya” ialah perjalanan ke Yerusalem—tempat Yesus menuntaskan misi hidup-Nya: mati dan bangkit.
Nah, persoalannya: apakah orang banyak itu setia mengikuti Yesus hingga Yerusalem? Apakah mereka tetap menjadi murid saat mengetahui Yesus sedang menyongsong kematian-Nya? Demikianlah suasana yang menyelimuti konteks pernyataan tadi.
Menjadi Murid
Yesus menekankan hal kemuridan. Sang Guru membedakan antara ”yang datang” dan ”yang menjadi murid”. Yang datang belum tentu menjadi murid. Memang banyak yang datang. Itu patut dihargai. Tetapi, apakah mereka layak disebut murid?
Murid beda dengan pengunjung. Pengunjung datang dan pergi sewaktu-waktu. Kalau ada waktu datang, kalau nggak ada waktu, ya nanti saja! Semuanya tergantung mood, perasaan hati, dan situasional sifatnya. Menjadi murid tidak tergantung mood, tidak tergantung perasaan hati, dan kekal sifatnya.
Murid juga beda dengan simpatisan. Simpati, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti rasa kasih, rasa setuju, rasa suka, keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Ujung-ujungnya perasaan. Dan kita sulit mengharapkan komitmen simpatisan. Sebab perasaan manusia cenderung—bahkan senantiasa—berubah.
Simpatisan partai akan menarik dukungannya jika ada partai lain yang dirasa lebih baik. Simpatisan mudah berubah pendapat karena perasaan manusia memang cenderung berubah. Yesus memanggil orang untuk tidak hanya menjadi pengunjung atau simpatisan, tetapi menjadi murid. Dan menjadi murid berarti membenci orang-orang terdekat, bahkan diri sendiri. Dalam gaya bicara orang Semit, menurut Rama Gianto, ungkapan ”membenci” biasa dipakai untuk menggambarkan sikap tidak memihak. Begitu pula ”mengasihi” maksudnya sama dengan berpihak.
Para murid diingatkan agar tidak lagi memihak pada ikatan-ikatan kekerabatan atau mengikuti naluri menyelamatkan diri. Mereka harus menomorduakannya. Tuntutan Yesus jelas. Dia ingin semua hubungan keluarga dinomorduakan karena Allahlah yang menciptakan semua hubungan itu. Aneh bukan, jika kita menomorduakan Allah, yang mengaruniakan semua hubungan keluarga itu.
Itu berarti, kita harus belajar mempertanggungjawabkan rencana penting dengan cara matang. Hal menjadi murid bukanlah hikmat sesaat dan mudah berubah menurut keadaan. Orang harus memikirkannya secara matang—tak hanya keberanian memulai, tetapi juga kemampuan meneruskan dan menerima konsekuensinya.
Selamat menjadi murid!
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...