Menjadi Saksi Hidup
Berapakah harga yang harus dibayar seseorang pada masa lalu untuk senyumannya pada hari ini?
SATUHARAPAN.COM – Beberapa minggu lalu, sahabat baik saya, seorang pejuang Lupus Surabaya, berpulang ke keabadian. Beliau sudah lulus dari kehidupan bersama Lupus. Secara medis,riwayat penyakitnya berat, komplikasi menjalar di hampir seluruh bagian tubuh. Tetapi, medis kalah canggih dalam mengukur ketangguhan jiwanya. Bayangkan, dalam segala keterbatasan gerak sebagai orang dengan Lupus, Eka Putri Istiari mendeklarasikan diri sebagai Lupus Traveller. Banyak kota dia sambangi untuk berwisata, mungkin menikmati hidup. Dia juga luar biasa dalam pekerjaan, rekam jejak karirnya sangat cemerlang di lembaga-lembaga bonafide.
Sungguh sedih mendengar kabar kepergiannya pada usia yang masih sangat muda. Namun, sosok Eka Putri Istiari telah berhasil menjadi saksi yang hidup bagi orang-orang di sekitarnya. Menjadi saksi yang hidup atas perjuangan waktu demi waktu hidup berdampingan dengan Lupus.
Beralih dari kak Eka, baru saja saya membaca status facebook sahabat Odapus (orang dengan lupus) asal Solo, Winjani Prita Dewi:
”Aku sadar penuh bahwa serangan Lupus bisa mengalahkanku kapan saja, sampai ke titik terendah kekuatanku. Tapi sekuat-kuatnya Lupus, aku tidak mau dia lebih kuat dariku. Bagaimana? Terkesan omong kosong ya? Beberapa Sobat Odapus yang sedang down sering mengatakan demikian: ’hidupmu lebih enak, punya keluarga sempurna, Lupusnya juga nggak berat-berat amat.’ Ah, hidup kita sama, teman, semua sama sesuai porsinya sendiri-sendiri. Ibarat makan, ukuran makanku beda dengan kaliaa. Hidup juga demikian, satu hal yang terpenting, bahwa Allah tidak pernah salah memberi apa yang hamba-Nya butuhkan. Allah tau kalau kemampuan kita luar biasa. kita diuji. Ujian ya, bukan cobaan. Makanya ujiannya diselesaikan biar naik kelas. Jangan lelah untuk tetap berjuang! Hidup ini terlalu sayang untuk dianggap berat.”
Saya dan Prita telah bersama-sama bersahabat dan bertukar pikiran tentang Lupus. Bersama-sama kami mencoba membagikan cinta untuk Odapus-odapus lainnya. Priskila dan Prita, duo Yayasan Tittari yang bahkan tidak terlihat seperti Odapus. Benar bahwa banyak Odapus baru yang tak percaya bahwa kami pernah mengalami masa-masa berat karena Lupus: kami pernah kehilangan rambut di kepala kami, kami pernah tak sanggup turun dari tempat tidur untuk berjalan, kami pernah kesakitan ditusuk jarum infus, kami juga pernah sekarat.
Kami tidak punya bahasa lain untuk menyampaikan semangat selain seperti status di atas. Klise? Terkesan omong kosong? Oleh karena itu, hidup jangan berhenti menjadi saksi bisu. Orang memang tidak pernah benar-benar tahu berapa harga yang harus dibayar seseorang pada masa lalu untuk senyumannya hari ini.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Komisioner Komnas HAM: Kita Butuh UU Yang Berpihak Kepada Ma...
TORAJA, SATUHARAPAN.COM-Problem utama lingkungan dan sumber daya alam saat ini jika ditarik keakarny...