Menjajagi Mesin Politik Partai dalam Pilpres
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kekuatan partai yang tercermin dari hasil pemilihan parlemen pada 9 April lalu, kemungkinan tidak otomatis akan mencerminkan kekuatan kandidat presiden dan wakil presiden yang diusung oleh partai-partai bersangkutan dalam meraih suara.
Hal ini berarti dukungan parpol kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang lebih kecil dibandingkan dukungan parpol kepada pasangan Prabowo Subiyanto-Hatta Rajasa, tidak berarti kekalahan dan kemenangan dalam pemilihan presiden sudah makin jelas.
Suara yang diberikan oleh rakyat bisa saja akan berbeda dengan partai yang dipilih dalam pileg. Hal ini setidaknya pernah terjadi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Kebetulan pemenang pemilihan itu sekarang menjadi kandidat presiden pada pemilihan 9 Juli mendatang, Joko Widodo, yang menang dengan dukungan parpol yang lebih kecil ketimbang pesaingnya, Fauzi Bowo.
Elite Partai Terpecah
Dalam pemilihan presiden kali ini, kekuatan dukungan partai bagi para kandidat presiden dan wakil presiden bisa tidak sepenuhnya mencerminkan apa yang diputuskan secara formal oleh partai politik.
Ada beberapa fenomena yang pantas dicermati. Bergabungnya Hary Tanusudibyo dari Hanura yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta, menunjukkan bahwa dukungan Hanura pada pasangan Jokowi-JK tidak bulat. Ketua Umum Hanura, Wiranto, bisa saja menyatakan mendukung Jokowi-JK, tetapi sikap Hary Tanu mencerminkan perpecahan pada elite partai.
Sementara itu, pernyataan Prabowo bahwa Mahfud DM telah bersedia menjadi ketua tim pemenangan pasangan ini, menunjukkan di tingkat elite PKB terpecah dalam memberikan dukungan bagi kandidat pemilihan presiden. Sebab, selama ini Mahfud MD dikenal sebagai kader PKB. Namun bisa saja dukungannya pada Prabowo karena kecewa pada pimpinan PKB yang tidak jelas membawa dia dalam percaturan pemilihan presiden. Ditambah lagi, penyanyi Rhoma Orama juga disebut bergabung ke Prabowo-Hatta.
Hal serupa terjadi pada Partai Golkar. Pemenang kedua pemilihan parlemen 2014 ini bahkan bernasib tragis, karena calon presidennya, Abu Rizal Bakrie, hanya menjadi penonton di tengah dinamikan membangun koalisi, atau setidaknya hanya menjadi penopang kadidat lain. Menjelang habis masa deklarasi dan pendaftaran kandidat, partai ini tampaknya tidak punya pilihan kecuali bergabung untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Situasi di internal Partai Golkar tampaknya makin terpolarisasi, karena kritikan dari dalam terhadap tidak signifikannya elektabilitas capres partai ini. Apalagi Jusuf Kalla, mantan ketua umum partai ini, juga masih menjadi patron bagi sejumlah kader Golkar. Hal ini makin jelas dengan pernyataan Luhut Panjaitan dan kader Golkar lain yang bertentangan dengan sikap Abu Rizal Bakrie, sebagai ketua umum dalam mendukung calon presiden.
Melihat situasi ini, kerja mesin politik partai sebenarnya banyak yang lemah, bahkan tak cukup efektif untuk menjaga kekompakan di antara elite mereka. Setidaknya hal itu terjadi pada PKB, Hanura dan Golkar. Namun mungkin saja konflik yang sempat muncul dalam tubuh PPP ketika Ketua Umum, Suryadharma Ali , menyatakan mendukung Prabowo, juga belum sepenuhnya bisa dituntaskan.
Kinerja Parpol
Dalam situasi seperti ini, apakah masih ada yang bisa diharapkan dari kinerja mesin politik partai-partai tersebut untuk mengangkat perolehan suara untuk pemilihan presiden hingga melebihi kinerja mereka dalam pemilihan legislatif?
Di lain pihak, hasil pemilihan legislatif 9 April lalu, tampaknya hanya PDIP, PKB, Gerindra, dan Hanura yang menunjukkan kinerja yang membaik. Keempat partai itu memperoleh tambahan suara dalam persentase yang cukup signifikan dari pemilu 2009.
PDIP meningkat dari 14,03 persen menjadi 18,95 persen, PKB dari 4,94 persen menjadi 9,04 persen, Gerindra dari 4,46 persen menjadi 11,81 persen, dan Hanura dari dari 3,77 persen menjadi 5,26 persen. Data ini menunjukkan lonjakan yang besar pada peningkatan Gerindra yang lebih dari dua kali lipat persentase suara sebelumnya.
Partai lain memang ada yang meningkat sedikit, seperti PAN dan PPP yang bertambah satu persen lebih. Namun hal itu sudah sewajarnya, karena ada peningkatan jumlah pemilih, dan penurunan yang drastis dari jumlah partai peserta pemilu di mana pada pemilu 2009 diikuti 44 partai.
Perolehan suara PD merosot tajam dari 20,85 persen menjadi hanya 10,19 persen. Sedangkan PKS menurun dari 7,88 persen menjadi 6,79 persen. Kedua partai ini bukannya menambah suara dengan mengambil keuntungan dari menurunnya jumlah partai, bahkan untuk mempertahankan persentase perolehan suaranya saja tidak berhasil.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partai politik peserta pemilihan legislatif 2014 tidak menunjukkan kinerja yang cukup baik. Bahkan masalah korupsi yang melibatkan petinggi partai bisa merupakan faktor kemerosotan perolehan suara.
Kinerja di Pilpres
Dalam kaitan hal di atas, partai-partai pendukung Jokowi-JK mungkin menunjukkan kinerja partai yang lebih baik. Tiga partai pendukungnya mencerminkan kinerja yang meningkat, PDIP, PKB dan Hanura. Sedangkan Partai Nasdem sebagai pendatang baru tampil dengan perolehan yang cukup baik, 6,72 persen.
Di sisi lain, partai-partai pendukung pasangan Prabowo-Hatta, hanya Gerindra yang menunjukkan kinerja partai yang cukup baik. Partai lain, PAN, PPP, dan Golkar peningkatan suaranya tidak cukup signifikan, sementara PKS merosot sedikit, dan (jika mendukung) PD suaranya merosot tajam.
Di luar Gerindra, bagaimana kinerja partai-partai ini bisa diharapkan mendukung Prabowo-Hatta untuk memperoleh suara melebihi, atau setidaknya bertahan dengan perolehan suara parlemen? Faktor isu korupsi yang diperkirakan menjadi penyebab kemerosotan suara partai, bisa menjadi hambatan bagi pasangan ini.
Dari gambaran kinerja partai di pemilihan legislatif, tampaknya pasangan Jokowi-JK memperoleh angin yang lebih segar dan stamina yang lebih baik dalam suasana persaingan. Namun demikian, apakah kemenangan dalam pemilihan presiden ini ditentukan oleh faktor kinerja partai pendukungnya?Atau sebalinya banyaknya partai menjadikan koalisi mereka lamban bergerak?
Tantangannya sekarang adalah dukungan partai politik perlu diduku kinerja untuk meningkatkan citra dan popularitas pasangan capres-cawapres. Atau yang terjadi justru mempertajam keraguan di kalangan pemilih dalam menjatuhkan pilihannya pada pasangan bersangkutan, karena rekam jejak yang suram?
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...