Menkes: Sosial Budaya Pendorong Perkawinan Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan terdapat beberapa tantangan yang harus diatasi untuk mencegah perkawinan anak seperti salah satunya faktor sosial budaya yang melihat praktik itu dapat menjaga nama baik keluarga.
"Tantangan dan faktor pendorong perkawinan anak khususnya selama pandemi COVID-19 yang perlu kita atasi bersama adalah faktor sosial budaya, yaitu pandangan menikah dapat menghindarkan perbuatan zina serta untuk menjaga nama baik keluarga," tegas Menkes Budi dalam Seminar dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan yang dipantau dari Jakarta, Kamis (18/3).
Selain itu terdapat beberapa faktor ekonomi di mana orang tua kehilangan sumber pendapatan melihat anak sebagai beban ekonomi dan menganggap pernikahan menjadi solusi akan hal itu. Faktor lain adalah adanya pembatasan sosial dan sistem belajar dari rumah mengurangi aktivitas anak serta terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi remaja.
Budi juga menjelaskan adanya faktor dimana konseling tatap muka yang dibatasi dengan konseling online yang belum maksimal.
Dia menyoroti bagaimana penggunaan internet untuk belajar dari rumah juga berarti meningkatkan risiko paparan kekerasan siber dan keterpaparan terhadap konten pornografi.
Terdapat juga faktor influencer yang menikah muda dan belum adanya kesepakatan antarsektor dalam memberikan rekomendasi pada permohonan dispensasi perkawinan.
"Beberapa hal ini merupakan tantangan yang harus kita hadapi bersama guna mencegah perkawinan anak," tegas Budi.
Karena itu dia menyambut baik deklarasi gerakan pendewasaan usia perkawinan yang digawangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) itu. Hal itu dilakukan demi menjaga hak kesehatan anak.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA Lenny N. Rosalin menjelaskan bahwa maraknya praktik perkawinan anak disebabkan beberapa hal seperti ketidaksetaraan gender, faktor ekonomi dan kemiskinan, nilai budaya, globalisasi dan faktor regulasi.
Menurut data Kementerian PPPA pada 2019, rata-rata nasional proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum usia 18 tahun adalah 10,82 persen. Angka itu menunjukkan penurunan dari 11,21 persen pada 2018.
Terkait dispensasi kawin yang diperlukan untuk menikahkan anak di bawah usia kawin, data menunjukkan bahwa 65.302 permintaan dispensasi diajukan kepada Pengadilan Agama pada 2020 dengan 63.383 sampai ke putusan dan 1.475 dicabut.
Hal itu memperlihatkan kenaikan dari 25.282 permohonan dispensasi yang masuk pada 2019 dengan 23.145 sampai ke putusan dan 1.060 dicabut.
"Kenaikan dispensasi salah satunya adalah karena naiknya usia minimum untuk memperolah dispensasi yaitu dari 16 tahun menjadi 19 tahun," kata Lenny, merujuk pada aturan baru di Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019. (Antara)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...