Menkeu Stop Kontrak JP Morgan Pasca Riset Negatif tentang RI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengambil keputusan untuk memutus hubungan kemitraan dengan perusahaan perbankan asal Amerika Serikat (AS), JPMorgan Chase Bank, N.A.
Laman resmi Kemenkeu menginformasikan pemutusan hubungan kemitraan tersebut terkait hasil riset JPMorgan Chase Bank yang dinilai berpotensi menciptakan gangguan stabilitas sistem keuangan nasional.
Antara melaporkan keputusan tersebut tertuang dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Utama JPMorgan Chase Bank, N.A. Indonesia tertanggal 9 Desember 2016 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Marwanto Harjowirjono.
Pemutusan kontrak kerja sama tersebut efektif berlaku per 1 Januari 2017.
Kesepakatan untuk mengakhiri kontrak kerja sama antara Ditjen Perbendaharaan dan JPMorgan Chase Bank dalam hal kemitraan sebagai bank persepsi.
Melalui pemutusan kontrak kerja sama sebagai bank persepsi, JPMorgan Chase Bank diminta untuk tidak menerima setoran penerimaan negara di seluruh cabangnya terhitung 1 Januari 2017.
Kemenkeu juga meminta perusahaan perbankan tersebut menyelesaikan segala perhitungan atas hak dan kewajiban terkait pengakhiran penyelenggaraan layanan JPMorgan Chase Bank sebagai bank persepsi
Perusahaan perbankan tersebut diminta pula untuk segera melakukan sosialisasi kepada semua unit dan nasabah terkait dengan berakhirnya status bank persepsi tersebut.
Sebelumnya, JP Morgan menerbitkan hasil riset yang memberikan gambaran negatif tentang perekonomian Indonesia. Situs Barron's Asia, melaporkan JP Morgan dalam risetnya menggeser alokasi portfolio mereka, menurunkan Brazil dari Overweight ke Netral, menurunkan Indonesia dari Overweight ke Underweight, dan Turki dari Netral ke Underweight.
JP Morgan tak menjelaskan secara rinci terkait alasan melakukan downgrade atas Indonesia dan Brasil. Namun, JP Morgan menyatakan, pasca pemilu AS, imbal hasil obligasi 10 tahun bergerak dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen.
"Pasar obligasi mulai price in pertumbuhan yang lebih cepat dan defisit yang lebih tinggi. Peningkatan volatilitas ini meningkatkan premi risiko negara berkembang (Brasil, Indonesia Credit Default Swap) dan berpotensi menghentikan atau membalikkan aliran (modal) ke fixed income negara berkembang," demikian riset JP Morgan yang dikutip Barron's dan dilansir kembali dari Kompas.
Barron's menyatakan, kekhawatiran tentang Indonesia meningkat sejalan dengan meningkatnya tekanan sosial di Jakarta. Hal ini terkait dengan aksi unjuk rasa terkait isu penistaan agama.
Pada tahun 2016, investor asing melakukan aksi beli di pasar saham Indonesia sebesar 2,4 miliar dollar AS.
Namun, Barron's menulis, sejalan dengan peningkatan imbal hasil obligasi AS, maka investor asing bisa saja kabur.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...