Rapor Merah Pemerintahan Jokowi di Mata Ekonom Faisal Basri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah terhibur oleh rapor hijau pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diberikan oleh kantor berita Bloomberg, publik yang ingin mendapat penilaian yang lebih kritis dapat menoleh kepada analisis yang disajikan oleh ekonom Faisal Basri. Dosen senior Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Kepala Dewan Penasihat Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA) ini, memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang perekonomian Indonesia, dibandingkan penilaian Bloomberg.
Bila rapor hijau Jokowi versi Bloomberg didasarkan pada indikator makro ekonomi dan politik (nilai tukar, pertumbuhan ekonomi dan tingkat dukungan pemilih), Faisal Basri menggunakan sejumlah indikator dan gejala ekonomi mikro.
"Jika begini-begini saja (business as usual), kemungkinan Indonesia terhindar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap) ketika merayakan seabad merdeka hanya 18 persen. Pendapatan per kapita Indonesia dalam dolar AS semakin tertinggal oleh negara-negara tetangga seperti Korea, Malaysia, dan Thailand. Padahal, pada awal kemerdekaan, tingkat kesejahteraan ketiga negara hampir sama. Tiongkok sudah menyusul Indonesia pada tahun 1998 dan Filipina menyusul Indonesia tahun 2015," tulis Faisal Basri di blog resminya, faisalbasri.com.
Dalam hemat Faisal Basri, perekonomian di bawah pemerintahan Jokowi ibarat mesin yang dipaksakan untuk mencapai sesuatu di luar kemampuannya. Demi ambisi untuk meraih hasil yang cepat, jurus-jurus yang dipakai adalah jurus-jurus instan. Padahal, kata dia, perekonomian RI sesungguhnya "kekurangan tenaga, daya, dan darah untuk berlari lebih kencang."
Di mata dia, tidak ada jalan pintas untuk meraih hasil secara cepat. "Doping hanya mewujudkan impian semu. Sampai finish dengan menyabet juara, namun di kemudian hari medali emas harus dikembalikan karena kebusukan tidak bisa ditutup-tutupi," kata tokoh yang pernah mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta itu, memberikan analogi.
Ambisi Kurang Tenaga
Sebagai contoh ia menyoroti ambisi pemerintah untuk memacu pembangunan infrastruktur. "Kalau memaksakan diri tumbuh lebih cepat tanpa meningkatkan kemampuan pembiayaannya, niscaya di tengah jalan bakal terengah-engah. Pemerintah bisa saja berutang lebih banyak, namun suku bunga bakal naik sehingga mengakibatkan investasi swasta melemah," tutur dia.
Dan hal itu sudah terjadi. Ia mengatakan investasi yang terjadi saat ini kurang berkualitas, tercermin dari porsi terbesar (74 persen) pembentukan modal tetap bruto adalah berupa bangunan. Sedangkan yang berupa mesin dan peralatan hanya 11 persen.
Sementara itu defisit anggaran harus ditutupi oleh utang luar negeri dengan menjual obligasi negara dalam denominasi mata uang asing (global bonds) dan meminjam dari negara donor dan lembaga keuangam internasional.
Akibatnya, kata dia, gonjang-ganjing perekonomian global bakal serta merta mengancam stabilitas makroekonomi. "Gangguan di dalam negeri, termasuk faktor sosial dan politik, turut menambah rentan stabilitas makroekonomi," tutur dia.
Ambisi lain yang juga menunjukkan kurang realistinya pemerintah adalah dalam upaya memajukan e-commerce. Indonesia bahkan mendaulat pendiri Alibaba, Jack Ma, sebagai penasihat Presiden. Padahal, kata Faisal Basri, prasyarat keberhasilan e-commerce adalah pembenahan sektor produksi terlebih dahulu dan pengorganisasian petani dan usaha kecil dan menengah.
"Tanpa itu, yang diuntungkan adalah pedagang perantara atau pengumpul. Prasyarat yang tidak kalah penting adalah penguatan infrastruktur. Bagaimana mungkin e-commerce akan maju kalau ICT Development Index kita tercecer di urutan ke-115 dari 175 negara dengan skor hanya 3,86 (tertinggi di dunia adalah Korea Selatan dengan skor 8,84). Di antara ASEAN-6, kita yang terendah. Indonesia di urutan terendah dari 11 negara yang disurvei oleh The Economist Intelligence Unit untuk The Asian Digital Transformation Index. Skor Indonesia hanya 16,0 (tertinggi Singapura dengan skor 75,6), jauh dari skor rerata sebesar 45,8," kata Faisal Basri.
Intervensi Berlebihan
Yang lebih parah adalah mengenai intervensi pemerintah dalam perekonomian. Menurut Faisal Basri, pemerintah terkesan ingin mengambil jalan pintas dengan cara mengorbankan mekanisme pasar.
"Untuk meredam kenaikan harga pangan, pemerintah menerapkan jurus intervensi harga dengan menetapkan harga acuan di tingkat konsumen dan di tingkat produsen untuk beras, jagung, bawang merah, cabe merah keriting, kedelai (kedelai lokal dan kedelai impor). Lain lagi dengan anak ayam (day old chick/DOC). Begini 'titah' Menteri Pertanian: “Tolong dicatat, harga DOC Rp 4.800 per ekor. Kita buat Peraturan Menteri-nya (Permentan). Nanti kami ketemu hari Senin.” Tidak hanya harga DOC. Harga ayam di kandang pun dipatok sebesar Rp 18.000 per ekor dan harga ayam di pasar sebesar Rp 32.000 per kilogram."
Padahal, kata Faisal Basri, solusi untuk permasalahan pangan bukan dalam penetapan harga. "Titik berat pembenahan pangan sepatutnya dimulai dari sisi produksi dan mata-rantai penjualan serta sisi permintaan. Bagaimanapun, faktor utama penentu harga adalah interaksi antara penawaran dan permintaan," tutur dia.
Intervensi lain ia contohkan dalam tekad pemerintah menurunkan harga gas di bawah 6 dolar AS per MMBTU. Ini menurut dia kontroversial. "Bahkan sudah keluar Perpres tentang itu pada Mei lalu yang berlaku surut sejak 1 Januari 2016. Entah dari mana datangnya angka 6 dolar AS itu," tutur Faisal Basri.
Intervensi serupa sebelumnya pernah dilancarkan oleh pemerintah dengan meminta BUMN menurunkan harga semen sebesar Rp 2.000 per sak, menurunkan tarif tol selama liburan lebaran 2015.
"Belakangan campur tangan langsung merembet ke penetapan suku bunga perbankan dan margin suku bunga," lanjut Faisal Basri.
Tangani Persoalan Inti
Menurut Faisal Basri, jika ekonomi Indonesia hendak berlari lebih kencang, yang seharusnya dibenahi adalah jantung masalah perekonomian. Dua subjek penting di sini, menurut dia, adalah perbankan sebagai jantung utama dan postur APBN sebagai jantung penopang. Pemerintah harus memastikan mencukupkan 'darah' yang mengalir dalam perekonomian dan memperlancar sirkulasinya.
"Bagaimana mungkin investasi swasta nasional bisa memadai secara berkelanjutan jika nisbah kredit domestik yang disalurkan oleh sektor keuangan terhadap PDB di Indonesia hanya 46 persen, sedangkan di Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura di atas 100 persen PDB?," ia mempertanyakan.
"Bagaimana sirkulasi darah (uang) bakal lancar kalau hanya 36,1 persen orang dewasa yang memiliki akun di bank, itu pun sudah termasuk yang berwujud mobile accounts."
Faisal Basri menengarai tidak terjadi konsolidasi perbankan di Indonesia. Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia yang penduduknya lebih dari 250 juta jiwa hanya menduduki urutan ke-11 di ASEAN dari besarnya aset pada tahun 2015.
"Postur APBN akan lebih sehat jika nisbah pajak (tax ratio) bisa dinaikkan dari hanya sekitar 12 persen PDB dengan kecenderungan yang menurun. Agar basis pajak menguat, struktur ekonomi harus disehatkan," ia mengatakan.
Faisal Basri mengusulkan agar sumbangan industri manufaktur mendapat perhatian serius pemerintah. Industri manufaktur, menurut dia, harus dipacu untuk menyerap jauh lebih banyak pekerja formal, meningkatkan produktivitas perekonomian, dan memperkokoh struktur ekspor.
Salah satu pencapaian Indonesia yang mendapat pujian Bloomberg adalah pertumbuhan ekonomi yang di atas 5 persen. Namun menurut Faisal Basri, walaupun itu tergolong tinggi dibandingkan pertumbuhan dunia dan rata-rata negara berkembang sampai sekarang masih dalam kecenderungan yang melemah dan tingkat kesejahteraan penduduk yang semakin tertinggal dengan negara tetangga. Kesejahteraan Indonesia, menurut dia, berpotensi disusul oleh negara-negara tetangga lain yang sekarang lebih rendah seperti Vietnam, Myanmar, dan kamboja.
Ini terjadi karena menurut dia, pertumbuhan ekonomi RI kurang berkualitas dan tanpa diiringi oleh transformasi struktural yang siginifikan. Sementara, diiringi pula oleh ketimpangan yang sangat buruk.
"Laporan Bank Dunia (2015) menunjukkan satu persen penduduk terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional sedangkan 10 persen terkaya menguasai 77 persen kekayaan nasional (Bank Dunia, 2015). Lebih miris lagi, orang-orang terkaya itu dua pertiga kekayaannya diperoleh dari praktk kroniisme. Angka crony-capitalism index untuk Indonesia memburuk dalam dua tahun terakhir dan menduduki posisi terburuk ke-7 dari 22 negara yang disurvei oleh The Economist (2016)," kata Faisal Basri.
Di mata Faisal Basri, mayoritas penduduk mengalami tekanan cukup berat. "Nilai tukar petani memburuk dalam dua tahun terakhir. Upah riil buruh tani turun 4,12 persen dan upah riil buruh bangunan turun 1,74 persen pada kurun waktu yang sama. Nasib serupa dialami pekerja industri manufaktur dan sejumlah sektor lainnya. Anggota keluarga yang sebelumnya tidak bekerja dipaksa masuk pasar kerja karena pendapatan kepala keluarga tidak lagi bisa menutupi kebutuhan keluarga," ia mengatakan.
"Ada 26,3 persen pekerja Indonesia yang bekerja lebih dari 49 jam seminggu. Angka itu hanya lebih rendah dibandingkan dengan Korea dan Hongkong (Nikkei Asian Review, 2016)," tutur dia.
Ia menutup tulisannya dengan menyerukan saatnya mengubah arah pembangunan Indonesia, menjadikannya inklusif, berkeadilan. "Jika tidak, harmoni sosial dan kerapuhan berbangsa jadi taruhannya," kata dia.
Berbagai indikator kinerja pemerintahan sejumlah negara versi Bloomberg. Presiden Joko Widodo digambarkan memiliki rapor hijau dibandingkan kepala pemerintahan lainnya.
Rapor Hijau Jokowi versi Bloomberg
Sementara itu kantor berita Bloomberg merilis rapor untuk para pemimpin dunia beberapa hari lalu, termasuk Presiden RI Joko Widodo. Rapor itu dipakai degan menggunakan tiga indikator, yakni fluktuasi kurs, pertumbuhan ekonomi dan approval rating.
Menurut Bloomberg, Jokowi menjadi satu-satunya pemimpin dunia di daftar Bloomberg yang memiliki indikator positif untuk tiga kategori, yakni fluktuasi kurs, pertumbuhan ekonomi dan approval rating.
Nilai tukar rupiah sepanjang 2016 menguat 2,41 persen, sementara pertumbuhan ekonomi naik jadi 5,02 persen dan tingkat penerimaan publik sebesar 69 persen.
Dibandingkan pemimpin di negara Asia lain dengan ukuran ekonomi setara atau lebih besar, prestasi Jokowi dianggap lebih menonjol.
Misalnya, Malaysia dan Filipina punya nilai tukar negatif masing-masing 4,26 persen dan 5,29 persen.
Dari daftar tersebut, performa Presiden Korea Selatan ada di posisi buncit karena semua indikatornya negatif. Nilai tukar won melemah 2,87 persen, pertumbuhan ekonomi turun 2,6 persen sementara tingkat penerimaan publiknya 4 persen membuatnya dipaksa mengundurkan diri.
Menurut Bloomberg, Presiden Jokowi menekankan otoritas kepada lembaga politik pada tahun ini. Ia menggabungkan kepemimpinan dan kepiawaian politik dan mengendalikan lebih dari dua pertiga kursi parlemen.
Dukungan politik tersebut dimanfaatkan untuk mendorong keberhasilan "tax amnesty" yang kemudian membiayai program pembangunan infrastrukturnya.
Namun bila mengacu pada pertumbuhan ekonomi, Indonesia sebetulnya jauh berada di bawah Filipina dan India. Pertumbuhan ekonomi Filipina mencapai 7,1 persen dan India mencapai 7,3 persen. Demikian juga perihal tingkat approval. Tingkat approval Presiden Joko Widodo 69 persen, sedangan Presiden India, Narendra Modi memperoleh 81 persen dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte 83 persen.
Ada pun mengenai pengelolaan nilai tukar, tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah melainkan lebih pada kendali bank sentral. Dan adakalanya bank sentral dengan sengaja mendepresiasi mata uangnya, seperti Tiongkok. Depresiasi dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan ekspor.
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...