Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 11:30 WIB | Kamis, 30 Juni 2016

Menolong Sesama Tanpa Bedakan Latar Belakang

Menolong Sesama Tanpa Bedakan Latar Belakang
Dari kiri ke kanan: Direktur Eksekutif Yayasan Caritas Indonesia, Adrianus Suryadi, Moderator, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Irfan Abubakar, Interim Manager Strategic Initiative Department, Yayasan Wahana Visi Indonesia, Anil Dawan dalam Seminar “Philantrophy Learning Forum”, di Wisma Indocement, Jakarta, hari Selasa (28/6). (Foto-foto: Prasasta Widiadi).
Menolong Sesama Tanpa Bedakan Latar Belakang
Relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Hong Tjhin, saat memberi pemaparan dalam Seminar “Philantrophy Learning Forum”, di Wisma Indocement, Jakarta, hari Selasa (28/6).

 JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lembaga swadaya masyarakat (LSM) hadir di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan mungkin hal biasa. Namun, bagi Indonesia yang hidup di tengah kemajemukan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), keberadaan LSM yang berdasar agama tertentu membantu masyarakat pemeluk agama lain yang berkesusahan biasanya menimbulkan kecurigaan.

Tiga petinggi LSM yang tergabung dalam Filantropi Indonesia, yakni Caritas Indonesia, Wahana Visi Indonesia, dan Yayasan Buddha Tzu Chi, menuturkan kenyataan tersebut dalam Seminar “Philantrophy Learning Forum”, di Wisma Indocement, Jakarta, hari Selasa (28/6). Meski terdapat perbedaan dalam tata cara beribadah dan keyakinan kepada Tuhan, saat menawarkan bantuan yang bersifat kemanusiaan tidak baik apabila mengedepankan perbedaan.

Direktur Eksekutif Yayasan Caritas Indonesia, Adrianus Suryadi, menuturkan pengalamannya bersama Caritas Indonesia sebagai yayasan yang menjadi anggota dari Konfederasi Caritas Internationalis (di bawah naungan Gereja Katolik) saat terjun dalam konflik di Ambon, Provinsi Maluku.

Sebagai lembaga sosial kemanusiaan, kata Adrianus, Caritas Indonesia merupakan salah satu lembaga yang melakukan mediasi di daerah yang dilanda konflik tersebut.

Adrianus dan rekan-rekannya melayani di bidang kemanusiaan dan, menurut dia, mengalami banyak kecurigaan, karena tantangan terberat bagi dia adalah sebagai pemuka agama Katolik bekerja di wilayah konflik yang berpenduduk mayoritas Muslim.

“Pengalaman saya yang paling megharukan adalah saya diselamatkan saudara Muslim. Waktu itu ada perpecahan Islam dan Kristen. Saya datang untuk mempromosikan rekonsiliasi, lalu saat terjadi konflik saya berada di daerah Muslim. Jangan membayangkan seperti di Jakarta yang pemeluk Islam, Kristen, Katolik bisa tinggal di satu tempat yang sama. Nah, di sana waktu itu dan harus melewati daerah dan desa yang dibedakan atas dasar agama,” kata dia.

Adrianus menjelaskan sebenarnya tidak punya masalah mengingat kondisi fisik dan warna kulitnya sama seperti kebanyakan orang Indonesia. Namun, kecurigaan muncul dari warga Muslim ketika dia membawa beberapa teman warga negara asing, berkulit putih. “Ada beberapa orang Muslim yang mulai marah. Tetapi ada teman Muslim yang bersama Caritas dan mereka menyuruh warga Muslim setempat untuk tidak mengusik saya dan beberapa tamu internasional saya,” kata dia.

Adrianus menjelaskan, dua teman beragama Islam tersebut adalah staf harian Caritas Indonesia yang menemani dia saat di Ambon.

“Dari contoh tadi, dalam hemat kami, sebelum sebuah organisasi filantropis melaksanakan tugas yang lintas iman, harus ada dialog terlebih dahulu,” dia menambahkan.

Adrianus menyebutkan jenis dialog pertama adalah dialog teologis. Dialog jenis ini adalah dialog yang dilakukan secara akademis oleh para ahli atau teolog dan pemimpin agama.

Dialog jenis kedua, dialog pengalaman religius yakni bentuk komunikasi yang dilakukan berbagai penganut agama dan bisa berdoa bersama, sekaligus memaknai nilai-nilai positif dan kitab suci. 

Dialog jenis ketiga adalah dialog dalam aksi. Setelah melontarkan wacana tentang perdamaian dan ide-ide kesejahteraan, langsung mewujudkan dalam tindakan konkret. “Seperti filantropi ini,” kata dia.

Jenis dialog yang terakhir adalah dialog dalam kehidupan sehari-hari, artinya dialog yang dilaksanakan tentang masalah yang lebih luas dan terjadi setiap hari karena setiap individu hidup di tengah masyarakat dengan berbagai orang yang memiliki latar belakang perbedaan agama, keyakinan, dan lain sebagainya. 

Wahana Visi Indonesia, Pengalaman Konflik Poso

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Interim Manager Strategic Initiative Department Yayasan Wahana Visi Indonesia, Anil Dawan, menjelaskan Wahana Visi Indonesia adalah yayasan yang  berfokus kepada anak secara holistik, karena anak merupakan salah satu indikator kesuksesan dalam masyarakat.

Dia mengulang kembali kisah saat yayasannya pada 2009 melakukan pendampingan psikologis kepada anak-anak yang terdampak konflik Poso, Sulawesi Tengah. Konflik terjadi karena antarpemuka agama dan dalam intern pemeluk agama tidak ada kebersamaan, dan minim komunikasi. 

“Kerukunan dan toleransi umat beragama akan tercipta bila ada komunikasi yang memberi dampak bagi perkembangan anak, karena dari komunikasi kita akan bisa menemukan akar masalah dari konflik, seperti kemiskinan, pluralitas agama, dan penderitaan manusia,” kata Anil.

Dia memberi contoh saat Wahana Visi Indonesia mengerjakan projek pendampingan bernama “Praktek Cerdas Pendidikan Harmoni” di Papote (Palu, Poso, dan Tentena) – daerah konflik di Indonesia. Wahana Visi Indonesia menjalin kerja sama dengan beberapa instansi yang sifatnya lintas iman.

“Setelah kami melakukan pendampingan, kami melihat bahwa konflik yang terjadi 2009 itu menyebabkan anak-anak yang tinggal di daerah konflik mengalami kondisi psikologis terguncang. Mereka tidak mau berteman dengan anak-anak yang memiliki latar belakang budaya, etnik dan suku berbeda, padahal Sulawesi Tengah begitu plural suku etnis dan lain sebagainya,” kata Anil.

Anil sedih karena pascakonflik membutuhkan waktu lama memulihkan kondisi anak-anak yang tidak mau berteman dengan anak yang berbeda agama, berbeda suku, budaya. Anil melihat anak-anak yang tinggal di daerah konflik tersebut merasa depresi dan traumatis, apalagi bila menunjukkan perilaku agresif di sekolah baik secara verbal dan fisik.

“Bahkan banyak anak mengalami kekerasan, dan mereka takut dengan orang dewasa di sekitarnya. Bahkan mereka takut dengan guru-gurunya,” kata Anil.

Anil menjelaskan selain menggalang kerja sama dengan dinas pendidikan di tingkat kabupaten dan provinsi, Wahana Visi Indonesia juga mengalakkan kerja sama dengan lembaga filantropis berbasis agama lain seperti dengan Muhammadiyah dan Al Khairaat. Selain itu juga dengan lembaga keagamaan seperti sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, dan lembaga pendidikan Universitas Tadulako.

“Kami tidak hanya mencari akar masalah, tapi juga merasakan dampak dari konflik itu,” kata Anil.

Yayasan Buddha Tzu Chi: Pengalaman Tsunami Aceh

Lain lagi dengan kisah relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Hong Tjhin, yang mengisahkan Perumahan Cinta Kasih di Cengkareng, Jakarta Barat.

Dia mengisahkan perumahan yang telah berdiri lebih dari 12 tahun lalu tersebut ada sejak Sutiyoso masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pendirian Perumahan Cinta Kasih tidak didasari semangat mengajak orang lain berpindah agama, kata Hong, namun dilandasi kemanusiaan bagi sesama tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan seseorang.

Menurut dia Perumahan Cinta Kasih di Cengkareng, Jakarta Barat, adalah perumahan yang didirikan yayasan yang berpusat di Taiwan tersebut, yang di dalamnya terdapat lebih dari 1.100 unit rumah bagi warga kurang mampu yang sebelumnya penduduk yang mendiami bantaran Kali Angke, Jakarta Barat.

“Tidak hanya rumah di kompleks itu, terdapat juga fasilitas sekolah, karena kami mementingkan generasi penerus bangsa,” kata dia.

Hong mengatakan tidak hanya fasilitas tempat tinggal di perumahan tersebut, namun sekolah adalah hal yang sangat substansial dan penting karena, menurut dia, satu-satunya cara mencetak generasi penerus bangsa adalah dengan pendidikan. Dengan pendidikan akan menciptakan generasi muda yang berkarakter sesuai dengan ajaran visi dan misi Yayasan Buddha Tzu Chi.

Hong sampai saat ini masih harus meyakinkan banyak orang. Karena perumahan tersebut didirikan sebuah yayasan berlatar belakang agama Buddha, dia sering mendapat pertanyaan tentang agama dan kepercayaan penghuninya. Dia meyakinkan bahwa penghuni Perumahan Cinta Kasih dari tahun ke tahun mayoritas beragama Islam.

“Waktu (Yayasan Buddha Tzu Chi, Red) membantu, kami tidak melihat agamanya sama sekali. Kami mementingkan pendidikan karakter anak-anak, dan kebersihan,” kata dia. 

Dia mengisahkan saat Provinsi Aceh terkena bencana tsunami pada 2004, Yayasan Buddha Tzu Chi juga membangun masjid dan melakukan kegiatan kemanusiaan lain di provinsi tersebut. “Kami juga memikirkan di Aceh sebagian besar masyarakatnya religius,” kata Hong.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home