Menteri: Afganistan Kalah Melawan Narkotika
3 Juta warga Afganistan kecanduan opium. Produksi sebagian besar di wilayah yang dikuasai oleh Taliban. Uang opium digunakan kelompok teroris
KABUL, SATUHARAPAN.COM - Afghanistan kalah perang melawan perdagangan obat-obat terlarang multi miliar dolar, tidak seperti dalam menghadapi terorisme, kata seorang menteri yang mengritik kurangnya kemauan politik dan menurunnnya bantuan asing untuk melawan narkotika.
Komentar Menteri Dalam Negeri Afganistan, Baz Mohammad Ahmadi, itu terkait upaya memberantas produksi opium di negeri itu. Baru-baru ini badan PBB melaporkan kenaikan 10 persen budi daya opium menjadi ketiga tertinggi dalam lebih dari dua dekade.
Produksi opium melonjak 43 persen menjadi 4.800 ton, kata Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), dan mengingatkan kekhawatiran besar dalam upaya memerangi momok obat terlarang.
"Tiga tahun lalu 20 provinsi yang bebas poppy. Sekarang hanya 13 yang bebas poppy," kata Ahmadi kepada AFP dalam sebuah wawancara.
"Pemerintah terlalu sibuk memerangi terorisme dan Taliban, dan kalah dalam pertempuran melawan obat, padahal semuanya saling berhubungan," kata dia.
Bunga poppy yang mekar berwarna merah muda dan putih, yang di beberapa daerah tumbuh di depan pada pemandangan dari gedung-gedung pemerintah, digunakan untuk membiayai pemberontakan Taliban dan mengancam keberadaan negara Afghanistan.
Donor internasional telah turun miliaran dolar pada upaya kontra-narkotika di Afghanistan selama dekade terakhir, dengan hasil yang sedikit.
Upaya pemberantasan telah runtuh dalam menghadapi surut bantuan asing. Hanya seluas 355 hektare hasil pemberantasan opium yang dilakukan tahun ini, turun 91 persen dari tahun 2015.
Ahmadi mengatakan kemunduran besar itu terjadi pada tahun 2010 ketika sebuah unit khusus Afghanistan yang terdiri 900 pasukan yang terlatih dan dilengkapi senjata oleh Barat untuk memacu upaya pemberantasan telah dibubarkan.
"Mafia, pedagang dan kelompok kepentingan lain menyebarkan propaganda bahwa kelompok itu tidak efektif, dan bergantung dukungan donor," kata Ahmadi. "Hal ini telah menelan biaya hampir US$ 50.000 untuk melatih setiap orang.
"Di masa lalu kami memiliki banyak dukungan dari negara-negara donor untuk pelenyapkan tanaman poppy. Tapi itu sudah berubah dengan cepat," katanya.
Naiknya budi daya opium juga memicu krisis kecanduan narkoba, meskipun program kontra-narkotika yang dipimpin Amerika Serikat memngeluarkan banyak biaya. Di Afganistan terdapat hampir tiga juta pecandu narkoba, padahal hampir tidak ada ketika di bawah rezim Taliban pada periode 1996-2001.
Para pejabat menyebut kondisi cuaca yang menguntungkan untuk tanaman poppy, meningkatnya ketidakamanan dan jatuhnya dukungan donor internasional, sebagai alasan utama peningkatan budi daya di Afghanistan. Negara ini adalah produsen opium terbesar di dunia.
Sekitar 95 persen budi daya opium dilakukan di daerah-daerah yang dikuasai oleh Taliban dan kelompok-kelompok pemberontak lainnya, kata Ahmadi.
Tapi apa yang paling menyakitkan, kata Ahmadi, adalah kurangnya kemauan politik untuk melawan narkotika.
Editor : Sabar Subekti
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...