Menteri Ekonomi Diminta Hati-hati Komentari Pelemahan Rupiah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini dianggap kurang peka terhadap pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Dalam membaca statement pemerintah selama ini, kok kita menangkap sesuatu yang aneh secara psikologis. Karena kalau masyarakat dan pengusaha saja khawatir tentang keadaan rupiah yang sekarang, kenapa pemerintah masih menganggap ini biasa saja ?" kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati dalam diskusi bertajuk "Hanya Bisa Pasrah dengan Tertekannya Rupiah," di Restoran Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/3).
”Masyarakat sudah merasa gelisah, tapi pemerintah bilang itu masih wajar. Yang ditangkap publik pemerintah seperti tidak punya effort untuk mengatasi ini,” kata Enny.
Enny menyebut bahwa sikap pemerintah dan para menteri ekonomi salah karena tidak khawatir dengan pelemahan nilai tukar rupiah. Sikap tersebut, menurut Enny, kemungkinan bisa mengakibatkan ketidakstabilan harga bahan pokok.
“Sikap masa bodoh pemerintah di saat nilai tukar menembus level Rp 13.000 per dolar AS sangat disayangkan di tengah himpitan kebutuhan pokok masyarakat,” kata Enny, yang menjadi pembicara bersama dengan Anggota Dewan Pertimbangan Kepresidenan, Suharso Monoarfa, Wakil Ketua KADIN, Yugi Prayanto, peneliti Populi Center, Nico Harjanto dan dipandu oleh Ichsan Loulembah dari Smart FM.
Enny menyarankan apabila ada situasi darurat ekonomi moneter seperti sekarang ini, pemerintah berhati-hati mengeluarkan pernyataan karena tidak bisa begitu saja memukul rata neraca perdagangan Indonesia dan berbagai negara yang juga terdampak pelemahan nilai tukar mata uang terhadap dolar AS.
"Pemerintah beralasan pelemahan rupiah adalah hal yang wajar, karena semua nilai tukar mata uang di dunia saat ini juga sedang mengalami pelemahan. Ya mereka (negara lain) memang wajar, karena komposisi ekspor mereka di atas 100 persen, dan pasti saja berpengaruh,” Enny menambahkan.
"Sementara Indonesia, ekspornya saja hanya 30 persen. Apalagi ekspor minerbanya juga sudah distop. Jadi kalau indikatornya berbeda, dampaknya ya tidak bisa diseragamkan."
Enny menambahkan, pemerintah jarang membangun komunikasi dengan pelaku usaha untuk mencari tahu apa solusi yang bisa dihasilkan manakala industri dalam negeri terancam gulung tikar.
"Untuk bisa memperoleh kebijakan efektif, harus tahu lapangan. Kalau tidak tahu, tanya. Apa kira-kira harapan pemerintah dan bisa tidak sinergi dengan implementasi di lapangan," Enny menjelaskan.
"Semua kritik kita sampaikan untuk perbaikan perekonomian. Sekeras apapun kita kritik, semata-mata agar ekonomi kita tidak terjebak dalam kondisi paling mengkhawatirkan," Enny menjelaskan.
Dalam kaitan ini, Enny menjelaskan, pemerintah melalui delapan rencana kebijakan ekonomi harus tahu betul mana yang kebijakan yang diprioritaskan untuk mengatasi dampak pelemahan rupiah.
Ketelitian menentukan kebijakan tersebut diharapkan menjadi solusi terbaik untuk menjaga stabilitas rupiah agar tak terpuruk seperti saat ini.
Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin), Yuga Prayanto membeberkan, mengatasi pelemahan rupiah bukan hal mudah. Mengingat, pemerintah masih gemar mengimpor segala kebutuhan masyarakat, mulai dari komoditi pangan hingga logistik.
Padahal, barang-barang kebutuhan yang diimpor pemerintah mampu diproduksi di dalam negeri. Selama ini, pemerintah terlalu sering mengekspor bahan mentah dan mengimpor barang siap guna untuk kebutuhan dalam negeri. Kini, pemerintah diminta untuk sebaliknya.
"Rupiah sudah lemah. Sekarang bagaimana menjaga rupiah agar tetap stabil? Mulai lah pemerintah swasembada. Ini untuk kebijakan jangka menengah," ujar Yuga.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Meski demikian, anggota Dewan Pertimbangan Kepresidenan (Watimpres), Suharso Monoarfa, meyakini keadaan tersebut hanya bersifat sementara.
"Situasi ini (pelemahan rupiah) keadaannya tidak seburuk yang dibayangkan orang. Ini temporary saja, kita harapkan segera lewat," kata Suharso.
Menurut Suharso, kondisi defisit saat ini masih bisa diatasi oleh pemerintah. Karena saat ini pemerintah, kata dia, tengah berupaya mengurangi industri dalam negeri yang bersifat rakus karena dinilai sebagai penyumbang defisitnya anggaran negara.
Pengembangan industri dalam negeri ini, tambahnya, diharapkan mampu membuat cadangan devisa negara bertambah. Pelemahan rupiah bukan satu-satunya persoalan yang harus dipikirkan pemerintah. Melainkan ada hal-hal lain yang memang cukup besar dan mendasar untuk segera diselesaikan.(Berbagai sumber).
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...