Menteri LHK RI: FoLU Net Sink 2030 Bukan Berarti Nol Deforestasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menjelaskan inisiasi Indonesia Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca bukan berarti sebagai nol deforestasi.
Siti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (3/11), mengatakan bahwa agenda FoLU Net Carbon Sink menjadi komitmen Indonesia mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon di sana di 2030.
''Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan atau penyimpanan karbon sektor kehutanan. Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,'' ujar Siti.
Menurut dia, menghentikan pembangunan atas nama nol deforestasi sama dengan melawan mandat Undang-Undang Dasar 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi. Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan disamping tentu saja harus berkeadilan.
''Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia,'' kata Siti.
Untuk itu, ia mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain, karena di situ ada persoalan cara hidup, gaya hidup termasuk misalnya tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia dengan halaman rumah dan sebagainya yang berbeda dengan konsep rumah huni menurut kondisi di Eropa, Afrika dan negara lainnya.
''Jadi harus ada 'compatibilty' dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci,'' ujar dia.
Ia juga memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa negara maju dikatakan sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an, selebihnya mereka tinggal menikmati hasil pembangunan.
Artinya sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut emisi nol bersih.
''Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk 'zero deforestation' di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya,'' kata Siti menegaskan.
Misalnya di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.
''Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,'' kata Siti.
Dengan target penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional, Indonesia terus berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur, dan mengerjakannya secara konsisten. Karena itu, ia mengatakan, tidak bisa membandingkan upaya Indonesia dengan negara lainnya, apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas.
''Indonesia dengan target penurunan emisi 41 persen saja, artinya kita mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Sementara mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an juta, tapi bunyinya 50 persen. Jadi faktor angka absolut ini yang harus dipahami. Arahan Bapak Presiden kepada saya sangat jelas bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,'' kata Siti.
Strategi yang dimiliki Indonesia, belum tentu dimiliki negara lain. Indonesia, kata Siti, sedang terus menerus memperbaiki sumber daya alamnya dengan langkah-langkah yang terukur.
''Kita tidak akan menjanjikan apa yang tidak bisa kita kerjakan. Mengurangi emisi GRK sudah sesuai dengan mandat UUD 1945. Ini memerlukan keterlibatan semua pihak, untuk itu saya menegaskan kembali pentingnya peran generasi muda di tengah berkembangnya demokratisasi di Indonesia. Tentu saja saya mengajak kita semua untuk tidak lelah mencintai Indonesia kita,'' ujar dia di hadapan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11).
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...