Menteri: Payung Hukum Moratorium Hutan Tidak Berubah
PEKANBARU, SATUHARAPAN.COM – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan, Pemerintah Indonesia berkomitmen memperpanjang jeda tebang dan penerbitan izin atau moratorium hutan hingga 2017 dan payung hukumnya tidak berubah.
“Sebab, tidak cukup waktu untuk meningkatkan payung hukumnya dari Instruksi Presiden menjadi Peraturan Presiden, “ kata Menteri Siti Nurbaya disela kunjungannya di Kota Pekanbaru, Kamis (7/5).
"Untuk (payung hukum) jadi Perpres kita akan kaji, tapi untuk periode yang ketiga ini dengan Inpres pun tidak kurangi arti apabila dia dengan Perpres," kata Menteri.
Pemerintah Indonesia, telah memberlakukan moratorium hutan sejak 2011 dan sudah dua kali diperpanjang dengan durasi dua tahun.
Menteri mengakui, banyak masukan dari berbagai pihak yang menginginkan agar payung hukum pelaksanaan moratorium hutan ditingkatkan ke Perpres. Namun, ia menyatakan pihaknya tidak punya cukup waktu untuk melakukan kajian mendalam sebab masa berlaku moratorium akan habis pada 13 Mei mendatang.
"Saya baru mendapatkan masukan banyak dari berbagai pihak itu baru diakhir-akhir, jadi naskah akademisnya kita belum keburu mengkaji secara mendalam," katanya.
Meski begitu, ia mengatakan, penggunaan Inpres secara jalur eksekutif sudah sama pentingnya dengan Perpres sehingga untuk sementara dinilai cukup representatif.
"Jadi sebetulnya, tidak terlalu berbeda untuk jalur eksekutif ketaatannya dalam melaksanakan Inpres mau pun Perpres," katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan mengatakan, perlu payung hukum lebih kuat untuk pelaksanaan moratorium hutan, karena Inpres dinilai tidak mengatur sanksi tegas bagi pihak yang melanggarnya. Inpres dinilai terlalu lemah dan hal itu ditunjukan dengan berbagai pelanggaran yang terjadi, khususnya di Riau.
"Bahkan, pada 2013 di Kabupaten Indragiri Hilir ada kepala daerah yang diakhir masa jabatannya mengeluarkan 27 izin untuk perkebunan di hutan yang masuk dalam peta moratorium. Tapi tindakannya tidak tersentuh hukum," katanya.
Riko berpendapat, pemerintah perlu memperpanjang moratorium dengan ketentuan wajib untuk memasukan hutan alam primer dan lahan gambut yang tersisa. Sebabnya, Riko mengungkapkan kejanggalan dalam pelaksanaan moratorium di Riau sudah terlihat sejak awal.
Dari 1,9 juta hektare hutan, yang masuk dalam kawasan moratorium di Peta Indikatif Penundaan Pemberian Ijin baru (PIPPIB), ternyata hanya sekitar 10 persen yang berupa hutan alam.
Sementara, sisanya adalah sebanyak 72 persen berupa hutan konservasi yang secara regulasi sudah otomatis tidak akan pernah akan ada penerbitan izin untuk perusahaan, serta sekitar 30 persennya berupa hutan rawa gambut sekunder dan berupa ilalang.
"Pelanggaran lainnya adalah luas hutan yang masuk dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB), PIPPIB terus menurun setiap kali dilakukan revisi oleh pemerintah sendiri. Di Riau ada 300 ribu hektare hutan yang dikeluarkan dari moratorium," katanya. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Israel Pada Prinsipnya Setuju Gencatan Senjata dengan Hizbul...
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Siaran media Kan melaporkan bahwa Israel pada prinsipnya telah menyetujui...