Menunggu Reformasi di Lebanon
SATUHARAPAN.COM-Terbentuknya pemerintah baru Lebanon yang dikepalai oleh Hassan Diab, di mana para anggota kabinet diumumkan pada hari Rabu (22/1) diperkirakan akan menghadapi tantangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dalam mencari dukungan internasional mengatasi krisis ekonomi.
Berbagai komentar yang yang dihimpun dari Lebanon dan negara lain menunjukkan respons yang hambar, bahkan dari kalangan pemrotes responsnya negatif. Sorotan yang tajam adalah pada peran kelompok gerakan Syiah Hizbullah dalam pembentukan pemerintah baru, dan tentu sepak terjadinya dalam politik selama ini. Juga kelompok Amal Syiah, pimpinan Nabih Berri yang sekarang menduduki posisi ketua parlemen.
Hassan Diab yang ditunjuk sebagai perdana menteri telah dua pekan berkutat dalam tarik ulur membentuk pemerintahan baru. Namun apa yang telah diumumkan direspons para pengunjuk rasa sebagai tidak memenuhi harapan mereka. Nama-nama yang ditunjuk banyak yang disebut sebagai teman-teman koruptor. Pengunjuk rasa mengharapkan kabinet terdiri dari teknokrat independen, tetapi Diab menyebebutnya teknokratis, hanya untuk menghaluskan bahwa mereka “teknokrat yang dikendalikan elite politisi sekarang.
Selain itu, dikalangan politisi juga terlihat penolakan yang kuat. "Hizbullah telah menyelesaikan upaya pengambilalihan negara Lebanon," kata seorang mantan menteri, Marwan Hamade yang dikutip Arab News Hamade, anggota terkemuka partai Druze Lebanon, yang dipimpin oleh Walid Jumblatt, mengatakan bahwa Hizbullah memperoleh kembali mayoritas parlemen pada tahun 2018 berkat undang-undang pemilihan yang dirancang untuk memberi manfaat bagi partai pro-Iran itu.
"Sekarang Hizbullah menyelesaikan pengambilalihannya melalui pemerintah baru di mana kami menemukan “sidik jari” rezim Suriah. Mayoritas menteri baru di posisi kunci bergantung pada Hizbullah atau pada mantan kepala keamanannya, Jamil Sayyed, yang pro-Suriah, atau pada Gebran Bassil, sekutu mereka,” katanya.
Hamade mengatakan bahwa pemerintah baru akan menghadapi ketegangan dan persaingan faksi yang sama dengan kepemimpinan sebelumnya, dengan faksi Suriah pro-Iran yang mengendalikan negara bersama dengan faksi-faksi yang bersekutu dengan Hizbullah.
Bank Sentral
Krisis ekonomi yang dihadapi Lebanon semakin parah. Inflasi melebihi 30 persen, dan mata uangnya turun drastis, sementara negara itu sangat bergantung pada impor. Untuk mengatasi krisis ini Lebanon akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri. Diab sendiri dilaporkan telah menghubungi Dana Moneter Internasional (IMF).
Ada dugaan bahwa fokus kabinet ini akan tertuju pada gubernur bank sentral Lebanon. Kemungkinan mereka akan mengganti pejabat sekarang, Riad Salame. Ini terutama terkait dengan sanksi ekonomi dan keuangan Amerika Serikat dan negara Barat lain terhadap Hizbullah.
Setelah pertemuan pertama kabinet Lebanon yang baru dibentuk pada hari Rabu, Perdana Menteri Hassan Diab berusaha meyakinkan publik bahwa kekhawatiran mereka sedang diatasi, tetapi memperingatkan bahwa tidak akan ada solusi cepat untuk mengatasi "bencana ekonomi" yang dihadapi negara tersebut.
Pemerintah koalisi yang baru dibentuk pada hari Selasa setelah hampir 100 hari protes publik luas tentang keadaan ekonomi, korupsi, pengangguran yang tinggi dan kurangnya layanan dasar. Mayoritas dari 20 menterinya adalah dari Hizbullah dan sekutunya. Pengumumannya disambut oleh seruan untuk protes lebih lanjut oleh mereka yang skeptis terhadap kemampuan pemerintah untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam mengatasi masalah, terutama krisis ekonomi dan kurangnya kepercayaan pada pemerintah, di dalam dan luar negeri, yang menghambat investasi.
Menunggu Reformasi
Pemerintahan Hassan Diab tampaknya akan sudah untuk mendapat persetujuan dari parlemen yang dipimpin Nabih Berri, terutama dengan dukungan dari blok politik Syiah. Namun akan menghadapi tantangan besar dalam meyakinkan publik Lebanon, dan dunia internasional tentang reformasi di negara itu.
Prancis dan Amerika Serikat memang telah menyebutkan akan mendukung pemulihan di Lebanon, namun tampaknya akan melihat lebih dulu apakah Lebanon menjalankan reformasi sesuai yang diharapkan rakyat negara itu.
Reformasi itu, terutama adalah tentang perubahan politik di Lebanon yang menggunaan sistem pembagian kekuasaan sektarian. Masalahnya, sistem ini adalah perlindungan utama bagi gerakan Syiah Hizbullah yang sudah umum diketahui mengusung kepentingan Iran dan sudah masuk daftar organisasi teroris di banyak negara. AS dan sejumlah negara Eropa sudah menjatuhkan sanksi ekonomi dan keuangan atas organisasi ini.
Politik sektarian telah dituding sebagai sumber masalah Lebanon yang menyebabkan pemerintah tidak efektif, dan korupsi sulit diberantas, bahkan negara kecil ini hanya menjadi proksi negara lain. Namun dengan dukungan utama dari Hizbullah, mungkinkah Diab menjalankan reformasi ini?
Menteri Keuangan Lebanon yang baru, Ghazi Wazni, pada hari Kamis (23/1) mengatakan bahwa donor asing menunggu untuk melihat reformasi apa yang akan dilakukan pemerintah baru dan apakah siap untuk memberi dukungan. “Apa programnya, apa langkah-langkah reformasi, apakah siap untuk dukungan atau tidak?"
Diab berjanji untuk memberantas korupsi dan mengembalikan uang rakyat yang dijarah, dan mengkin itu akan diwujudkan untuk meyakinkan rakyat Lebanon, tetapi bagaimana dia bisa mengahhiri sanksi ekonomi dan keuangan oleh negara lain terhadap Hizbullah yang ada dalam pemerintahannya? Hizbullah tampaknya tidak akan sukarela Lebanon meninggalkan sistem politik sektarian. Ini akan mengandung konsekuensi dan ancaman besar bagi eksistensi Hizbullah, termasuk “hak istimewa” dengan memiliki milisi bersenjata.
Komunitas internasional memang menunggu reformasi di Lebanon, entah bagaimana dan kapan?
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...