Menyambut Santa Kaum Miskin
Sudah lama figur Bunda Teresa dari Kalkuta mampu menyentuh hati semua orang. Bahkan Gereja akan menganugerahkan gelar Santa padanya. Apa rahasianya?
SATUHARAPAN.COM – Jika tak ada aral melintang, maka tanggal 4 September nanti Gereja Katolik akan menetapkan Bunda Teresa dari Kalkuta sebagai “Santa”, yakni orang kudus yang hidupnya patut diteladani dan dipercaya dapat menjadi saluran rahmat khusus dari Allah sendiri.
Walau masih sebulan lagi penetapan itu, namun penduduk di Kalkuta sudah ramai mempersiapkan pesta meriah untuk menyambutnya. Dan yang menarik, seperti dilaporkan Catholic News Service 10 Agustus lalu, rangkaian perayaan itu melintasi batas-batas keagamaan maupun kelas sosial. Bukan saja Gereja Katolik maupun Misionaris Cinta Kasih (MC), tarekat yang didirikan Bunda Teresa, yang merayakannya, tetapi para sukarelawan dari berbagai agama, suku bangsa, maupun kelas sosial.
“Ini cara kami untuk menghormati Ibu,” kata Srijita Deb Burman, seorang pebisnis yang mengkoordinasikan pameran foto. “Foto-foto yang nanti dipamerkan akan memperlihatkan inspirasi yang menarik Bunda Teresa melayani di kota ini.”
Sementara itu Sunita Kumar, pelukis Sikh yang menjadi sukarelawati di MC, memamerkan karya-karyanya di Sekolah Katolik St. Xavier sampai hari penetapan itu. Dan pemerintah daerah Kalkuta menamai Park Street, lokasi populer tempat penduduk biasa berkumpul dan bercengkerama, sebagai Mother Teresa Sarani. Di situ juga rencananya berbagai festival akan digelar sampai Natal tahun ini.
Ikon Belas Kasih
Sulit disangkal, Bunda Teresa dari Kalkuta selama ini telah menjadi ikon belas kasih dunia yang mampu menarik minat jutaan orang. Pengabdian panjangnya yang tulus untuk melayani “kaum termiskin dari yang miskin” (the poorest of the poor) di Kalkuta, sudah menjadi legenda hidup yang mampu menyentuh hati setiap orang. Bahkan Aarti Kumar, seorang Hindu yang taat, mengaku punya devosi khusus terhadap Bunda Teresa.
Karena itu tidak heran jika riwayat hidupnya pun menginspirasi sejumlah film. Paling anyar adalah film The Letters (2014), besutan William Riead. Berbeda dengan dua film sebelumnya, Mother Teresa: In the Name of God’s Poor (1997) dan Mother Teresa of Calcutta (2003) yang menyajikan hidup dan karya Bunda Teresa secara utuh, The Letters lebih merupakan potongan-potongan dari berbagai episode kehidupan dan karyanya sembari dirangkai lewat surat-surat maupun catatan-catatan harian yang ditinggalkannya.
The Letters memang berambisi menampilkan sisi lain dari figur legendaris tersebut: pergolakan batin Bunda Teresa yang selama ini tersembunyi dari khalayak umum. Ia hanya mencurahkan pergolakan batinnya lewat surat-surat dan catatan-catatan pribadi untuk Ferdinand Périer, SJ, Uskup Agung Kalkuta, dan Pastor Celeste Van Exem, SJ, pembimbing rohaninya sejak 1944. Dan berulang kali Bunda Teresa meminta agar surat-surat serta catatan-catatan itu dimusnahkan saja.
Untunglah, baik Férier maupun Van Exem, menolak permintaan tersebut. Ketika proses “kanonisasi”, yakni penelitian oleh Gereja untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak digelari “orang kudus”, dimulai tak lama setelah Bunda Teresa wafat tanggal 5 September 1997, ada upaya serius mengumpulkan surat-surat maupun catatan pribadi itu, serta dokumen-dokumen lain. Konon, dokumentasi untuk proses kanonisasi itu mencapai 80 jilid!
Sepuluh tahun setelah wafatnya, surat-surat dan kumpulan catatan pribadi Bunda Teresa diterbitkan, dengan suntingan dan komentar oleh Brian Kolodiejchuk, MC. Diberi judul Mother Teresa Come Be My Light: The Private Writings of the “Saint of Calcutta”, buku itu segera menjadi bestseller internasional dan menggemparkan banyak pihak. Di situ, untuk pertamakalinya, orang dapat mengintip sisi lain figur legendaris dari Kalkuta: pergolakan batin, kecemasan, dan bahkan perasaan ditinggalkan Allah. Buku itulah yang menjadi sumber film The Letters.
Spiritualitas Kenosis
Sayang sekali bahwa The Letters tidak mampu menampilkan pergolakan batin Bunda Teresa secara utuh. Akting Juliet Stevenson, aktris Inggris yang memerankan Bunda Teresa dalam film itu, terasa hambar. Jauh sekali jika dibandingkan dengan tampilan gemilang Olivia Hussey dalam Mother Teresa of Calcutta (2003), adaptasi seri televisi Italia Madre Teresa oleh Fabrizio Costa, yang menyabet penghargaan CAMIE tahun 2007.
Padahal, jika membaca buku suntingan Brian Kolidiejchuk itu (edisi Indonesianya diterbitkan Gramedia tahun 2009), kita akan menyaksikan pergolakan batin yang sangat dalam dan keras. Malah orang sering kali dapat terkecoh, dan menganggap Bunda Teresa mengalami krisis iman. Majalah bergengsi TIME (23 Agustus 2007), misalnya, menyambut penerbitan buku itu dengan judul provokatif: “Mother Teresa’s Crisis of Faith”.
Sebab dalam surat-suratnya, Bunda Teresa berulang kali menyebut pergulatan batinnya saat memasuki apa yang didendangkan St. Yohanes dari Salib, mistikus terbesar gereja abad XVI dari Spanyol, sebagai “malam gelap jiwa” (dark night of the soul). Ini merupakan proses pemurnian jiwa, saat seluruh daya kemampuan nalar, perasaan, dan bahkan keyakinan dogmatis seseorang runtuh. Perlahan-lahan orang yang memasuki proses ini dituntun untuk “mengosongkan diri” (kenosis) sepenuhnya, agar nantinya siap menjadi alat kasih-Nya.
Acap kali orang gagal dalam proses pemurnian tersebut, lalu merasa bahwa Allah sudah meninggalkan dia. Dalam surat-suratnya, perasaan itu juga tampak pada Bunda Teresa. Bahkan dalam suratnya yang berbentuk doa tanggal 3 Juli 1959 kepada Lawrence Trevor Picachy, Bunda Teresa menggemakan seruan Yesus di salib: “Tuhan, Allahku, siapakah aku sehingga Kau menolakku? Sendirian. Kegelapan begitu pekat, dan aku sendirian. Tak dimaui, ditolak. Kesepian hati yang mendambakan cinta ini sungguh tak tertanggungkan. Di mana imanku?”
Namun Bunda Teresa terus bertahan dengan janjinya sendiri, untuk menjadi “sebatang pensil yang kecil di tangan Allah dan memuaskan dahaga Yesus di salib”. Penyerahan dirinya secara total sungguh sangat mengagumkan, sehingga ia mengalami penyatuan mistik dengan Kristus yang tergantung di kayu salib. Ia akhirnya mampu “mencintai kegelapan” yang, baginya, merupakan “bagian kecil dari kegelapan dan penderitaan Yesus”.
Melalui proses kenosis itulah, Bunda Teresa akhirnya mampu merasakan penderitaan “kaum termiskin dari yang miskin”, yakni mereka yang tidak dimaui, ditolak, disisihkan, dan dibuang oleh masyarakat Kalkuta. Mereka bukan lagi obyek yang dilayaninya, melainkan menjadi menjadi subyek, yakni “kemiskinanku” (my poor) dan sekaligus “gambar nyata hidup rohaniku sendiri”. Lewat pengabdian dan penyerahan diri total itulah, ia membawa “cahaya Allah” ke tengah kehidupan Kalkuta yang keras dan kejam. Juga kehidupan kita sampai sekarang.
Karena itu tidaklah mengherankan jika orang banyak bersiap-siap menyambut Santa Kaum Miskin dari Kalkuta awal September nanti!
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...