Menyanyi untuk Menyembuhkan Luka
Upaya menerima kepahitan hidup dengan menggubah lagu merupakan cara yang menyentuh hati.
SATUHARAPAN.COM - Mendengarkan satu demi satu lagu-lagu dalam album ‘"Dunia Milik Kita’’ seperti mendapatkan kesempatan untuk melihat peristiwa tragedi tahun 1965 dari kacamata lain, terutama bagi generasi yang ketika itu masih terlalu kecil untuk memahami, atau lahir setelahnya.
Album itu dirilis secara gratis dan bisa didengarkan melalui jaringan internet. Ada sepuluh lagu yang disajikan oleh kelompok yang menyebut diri "Dialita’.’ Nama itu diambil sebagai kependekan dari ‘"di atas lima puluh tahun".’ Mereka adalah perempuan-perempuan sepuh yang pernah dipenjara selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan karena mereka dituduh terlibat kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Terlepas dari masalah politik yang melatarbelakanginya serta penderitaan fisik yang mereka alami, dipenjara tanpa pengadilan dan dipinggirkan dari kehidupan sosial, merupakan penderitaan yang lukanya jauh lebih mendalam. Apalagi, selama ini upaya untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi tidaklah mudah, Bahkan, beberapa acara pemutaran film tentang tragedi tersebut sering ditentang dan dibubarkan.
Namun demikian, upaya menerima realitas kepahitan hidup dengan menggubah lagu merupakan cara yang menyentuh hati; ada daya tahan dan sekaligus kekuatan estitika dalam diri manusia, bahkan dalam keadaan yang paling pahit.
Hal ini terasa pada lagu ‘"Ujian’’ yang ditampilkan sebagai lagu pertama album itu, hasil gubahan Siti Jus Djubariah. Sebaris syairnya bertutur: ‘"Dari balik jeruji besi hatiku diuji apa aku emas sejati atau imitasi.” Atau lagu ‘’Salam Harapan’’ karya Cholil Mahmud dan Popie Airil: "Bagai gunung karang di tengah lautan, tetap tegak didera gelombang”.
Usia mereka yang sudah sepuh tidak bisa disembunyikan dalam kualitas suara mereka. Bahkan, dalam sebuah acara Documentary yang disiarkan televisi Jepang, NKH Worlds, mereka mengakui kesulitan dan harus bekerja keras untuk rekaman dan penampilan perdana mereka pada 19 Agustus lalu.
Namun di balik itu, suara batin mereka jauh lebih berenergi ketimbang suara yang terdengar dengan telinga. Semangat mereka tampak jelas ketika menyanyikan lagu ‘"Ganefo". Lagu ini juga dinyanyikan dalam pembukaan "olimpiade’’-nya negara-negara non blok, yang oleh Soekarno disebut sebagai ‘"Games of New Emerging Force’.’
Yang lebih menarik adalah pengakuan Utati, salah satu dari 16 perempuan yang menyanyi dalam paduan suara itu pada wawancara dengan NHK, bahwa menyanyi dan meluncurkan album itu adalah cara penyembuhan’ bagi luka yang mereka alami, dan mungkin juga penyembuhan bagi luka banyak korban tragedi 1965, dari pihak mana pun.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor: Yoel M. Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...