Dibayar dengan Kotoran Sapi
Kotoran sapi juga berharga.
SATUHARAPAN.COM – Dalam acara Kick Andy di Metro TV baru-baru ini, sahabat saya Hotlin Oppusunggu mengatakan bahwa jasa dia sebagai dokter gigi dibayar dengan kotoran sapi di desa pedalaman Kalimantan. Sikap dan tindakan Hotlin Oppusunggu mengagetkan kita. Hotlin Oppusunggu menjadi antitesis di era globalisasi ini.
Di era ini masyarakat mengeluh karena para dokter dituding komersial. Dokter dianggap mengejar materi sehingga nilai-nilai luhur profesi dokter tergerus. Padahal profesi dokter memiliki moto ”hanya demi untuk kemanusiaan”. Hotlin Oppusunggu justru menjungkirbalikkan tudingan itu. Kita paham, mengapa Hotlin Oppusunggu menerima kotoran sapi, tentu saja dia sedang memberi pembelajaran dari segi tanggung jawab dan mengajarkan masyarakat bahwa kotoran sapi itu sangat berharga. Hotlin memanfaatkan kotoran sapi itu untuk menanam pohon.
Hotlin Oppusunggu sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (USU), ketika menjalani Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada akhir 90-an, memilih tempat yang amat sulit terjangkau di pedalaman Riau. Umumnya dokter PTT saat itu berusaha memilih tempat yang aman dan nyaman. Tetapi, Hotlin Oppusunggu memilih daerah terpencil yang penuh tantangan.
Sebuah perilaku aneh. Perilaku aneh itu kini menjadi inspirasi bagi dunia. Hotlin Oppusunggu telah mendapat penghargaan dari Kerajaan Inggris, Harian Republika, serta berbagai penghargaan lainnya untuk pilihan hidupnya itu.
Dr. Viator Butarbutar, M.A. sejak menjadi dosen muda di Universitas Riau (UR) memilih tempat penelitian di daerah-daerah perbatasan Riau yang amat sulit terjangkau. Biasanya, peneliti muda lain memilih lokasi yang dekat dengan keluarga. Mereka umumnya memilih yang aman dan nyaman.
Kini setelah puluhan tahun, Viator Butarbutar memahami secara mendalam persoalan masyarakat. Viator menjadi pakar geografi dan kondisi riil ekonomi masyarakat Riau karena sejak muda telah bersusah payah untuk mendalami realitas masyarakat. Dalam konteks sekarang, Viator Butarbutar, doktor ekonomi yang lahir di Sumatera Utara itu, sangat mendalam memahami kondisi Riau. Mungkin Viator jauh lebih mendalami kondisi Riau dibandingkan koleganya yang juga pakar ekonomi. Itulah konsekuensi ketika masa muda dihabiskan untuk mencari ilmu secara serius dan tulus.
Media kita kini lagi hangat membicarakan penggandaan uang yang dilakonkan Dimas Kanjeng. Celakanya, banyak pula pengikutnya. Ketua Yayasan itu seorang doktor pula. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Penyakit apa yang terjadi di masyarakat kita? Bukankah kita harus kerja keras agar menjadi berkat?
Beberapa tahun lalu, saya melihat sebuah iklan bank terkemuka. Di iklan kredit itu digambarkan jagung berbuah uang senilai seratus ribu rupiah. Jagung itu berbuah lebat dan buahnya uang seratus ribu rupiah. Apa yang terjadi jika jagung berbuah uang? Apakah uang kertas bisa dimakan? Sejatinya, petani menanam jagung bukan untuk mencari uang, tetapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan karbohidrat. Iklan pun tidak lagi mencerahkan, tetapi menyesatkan.
Generasi muda sekarang, harus belajar kepada Hotlin Oppusunggu dan Viator Butarbutar, sehingga kelak bangsa ini menjadi cerdas dan tidak tergoda dengan penghasilan pasif yang didewakan begitu banyak orang.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...