Menyerukan Kebinekaan di Batas Utara Nusantara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menyerukan suara kebinekaan di wilayah yang homogen diakui tak mudah oleh Nilam Pamularsih, salah satu peserta program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Di wilayah penjaga utara Nusantara, tepatnya di SDN 007 Malinau Barat, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, Nilam bersikeras mengajarkan kebinekaan di wilayah yang dibentuk oleh satu suku.
“Desaku masyarakatnya suku Dayak Lundayeh. Salah satu suku terbaik secara fisik dengan ukuran Indonesia, orangnya putih, rambutnya lurus, matanya sipit, perawakan kecil. Karena sukunya homogen, jadi agamanya pun homogen. Di sini mayoritas Kristen,” kata Nilam kepada satuharapan.com melalui pesan elektronik, hari Kamis (13/8).
Situasi semacam ini cukup menyulitkannya memberi pengertian tentang menghargai perbedaan. Terlebih, penduduk tersebut terbiasa tinggal di desa kecil dengan mobilisasi yang terbatas. Oleh karena itu, kesempatan untuk bertemu dengan warga dari etnis lain cukup minim.
“Akan tetapi kalau kita selidiki lebih jauh, nilai-nilai primordial mereka tertanam cukup kuat. Orang Dayak di sini sangat kuat unsur kekeluargaannya. Bisa dilihat teman-teman yang berasal dari Malinau yang sudah menempuh kuliah di luar Kalimantan pasti lebih senang berkumpul dengan teman-teman satu suku mereka,” kata dia.
Nilam mengakui, warga dari daerah lain cukup sulit memasuki wilayah tersebut untuk menetap dan tinggal sebagai pengajar. Dengan kondisi yang homogen, sifat kekeluargaan lebih dijunjung tinggi daripada profesionalisme pekerjaan.
Situasi ini menurutnya cukup berpengaruh pada karakter anak dalam bergaul. Kadang, kata Nilam, mereka merendahkan teman dari daerah lain yang berasal dari desa seberang.
“Caraku menanamkan keberagaman, aku pakai media foto atau video yang menggambarkan kalau Indonesia itu luas banget dan nggak terbatas dengan desa mereka. Kadang sulit karena nggak ada contoh eksplisit. Tapi semampuku aku mengambarkan Indonesia dengan bebagai media kepada mereka,” ungkapnya.
Kendati demikian, tak ada mata pelajaran khusus kebinekaan. Ia menyematkan nilai-nilai keberagaman di pelajaran-pelajaran khusus seperti bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaraan. Ia juga terbiasa menempa siswa-siswanya lebih keras bila mengajarkan perihal keberagaman.
“Biasanya aku mendorong mereka untuk memiliki teman beda suku dengan kasih tugas cerita pengalaman bermain bersama teman beda suku dan menceritakan kesulitan dan keuntungan saat mereka memilih berteman dengan mereka, dan itu cukup berhasil,” kata dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...