Loading...
OPINI
Penulis: Patrisius Mutiara Andalas, SJ 16:42 WIB | Rabu, 25 September 2013

Menyucikan Ruang Publik

SATUHARAPAN.COM - Kasus-kasus sengketa badan jalan di Tanah Abang, bantaran sungai dan danau di Jakarta, dan tempat-tempat ibadat di Indonesia mendorong pembicaraan tentang ruang publik. Nada kemendesakan menyertai diskusinya. Pihak-pihak tertentu mendaku kepemilikan atas ruang-ruang publik itu. Badan jalan di Tanah Abang salah fungsi sebagai lapak komersial pedagang kaki lima. Komersialisasi berlangsung di bantaran sungai dan danau dengan menyewakannya sebagai lokasi tinggal.

Penggarukan paksa terhadap pelaku-pelaku kemaksiatan seringkali berakhir dengan pengrusakan bangunan, bahkan kekerasan fisik. Ormas-ormas keagamaan tertentu menutup paksa tempat-tempat ibadat atas tuduhan menyalahgunakan izin mendirikan bangunan. Perlawanan-perlawanan masyarakat terhadap mereka mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai batasan ruang publik dan sikap terhadap klaim kepemilikan atasnya.

Dalih Kesucian

Pelaku mengaburkan, lebih lanjut menyerongkan arti ruang publik. Menyempitkan ruang publik dari ruang kehidupan untuk semua ke ruang untuk pribadi atau kelompok tertentu. Ia kemudian identik dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Padahal, ruang publik itu sejatinya milik bersama yang pemerintah bertanggung jawab mengelolanya. 

Pendakuan yang meminggirkan yang lain ini seringkali berlanjut dengan tindakan intoleran terhadap pihak-pihak yang keberatan terhadapnya. Untuk membenarkan tindakan mereka, pelaku menghubungkannya dengan kesucian, entah dalam arti sekular maupun spiritual. Dalam arti sekular, mereka mengatasnamakan kepentingan rakyat. Pada saat bersamaan, mereka mencoba mengelabuhi masyarakat luas bahwa dia memiliki kepentingan pribadi yang berlawanan dengan kepentingan. Kesucian menjadi dalih ampuh mereka sehingga masyarakat umum gagal mengendus libido kepentingan mereka.

Rangsangan menyucikan ruang publik menghinggapi ormas-ormas keagamaan radikal. Mereka menyerang geografi kehidupan komunitas-komunitas beriman lain. Mereka menyempitkan ruang hidup komunitas beriman lain dengan menutup paksa tempat-tempat ibadah dan perayaan-perayaan ibadatnya. Mereka melayangkan prasangka, stereotipe, bahkan stigma yang menyudutkan, bahkan mengorbankan yang lain. Mereka memiliki dambaan, kalau bukan ilusi, akan ruang publik tanpa kehadiran kelompok-kelompok yang berbeda, apalagi berseberangan dengannya. Keberagaman, di mata mereka, ancaman terhadap praktik hidup agamanya di ruang publik. Kepentingan kelompok marjinal dengan mudah dikalahkan, bahkan lokasi hidup mereka perlu relokasi demi menghormati kepentingan kelompok mayoritas.

Rakyat marjinal hidup terjepit diantara pihak-pihak yang berkonfrontasi di ruang publik. Mereka potensial menjadi korban terusan dari komersialisasi ruang publik. Tegangan sempat meregang diantara rakyat di sekitar bantaran sungai dan waduk ketika gubernur Jokowi-Ahok mengembalikan peruntukan awalnya. Skenario konflik horisonal antara pejabat pemerintah yang hendak mengembalikan peruntukan awal ruang publik dengan rakyat marjinal, menguntungkan pihak-pihak yang mendaku kepemilikan atas ruang publik. 

Dalam bingkai ini, kita kemudian dapat memahami stigma politik terhadap wakil gubernur Ahok yang menertibkan badan jalan di Tanah Abang sebagai penderita sakit jiwa dan pelanggar hak asasi pedagang kaki lima di Tanah Abang. Sebaliknya, penekanan titel relijius haji dan pencitraan Lulung sebagai anggota DPRD yang melindungi hak asasi PKL tujuannya memuliakan diri. Pembunuhan karakter yang lain bertujuan memuliakan karakter dirinya. 

Menyucikan Kekerasan

Kita dapat berpaling kepada Jokowi-Ahok yang kepemimpinannya melibatkan rakyat (engaged governance) dengan blusukan (immersion to the world of the poorest). Perjumpaan dengan rakyat marjinal dan pembelajaran dari kebijaksanaan mereka memampukan keduanya melihat garis-garis batas ruang publik. Menyewakan tanah di kawasan bantaran sungai dan tepi danau yang peruntukan awalnya penampungan air dari bahaya banjir untuk kawasan hunian merupakan komersialisasi ruang publik. 

Ketika mengembalikan lokasi-lokasi ruang publik itu pada peruntukan awalnya, mereka mengurai persoalan tanpa harus berkonflik dengan rakyat marjinal. Padahal, para oknum menginginkan Jokowi-Ahok terperosok dalam perangkap konflik horizontal dengan rakyat yang hidup di tepian-tepian ruang publik. Penertiban terhadap PKL di Tanah Abang memperlihatkan jalan berpeluh mengembalikan ruang publik dari cengkeraman mereka.

Pelaku kekerasan berambisi menyucikan ruang publik dan menyadarkan target korban akan kemaksiatan, bahkan kedosaannya. Waktu suci agama yang menjadi afiliasi relijius pelaku membingkai kekerasan terhadap kaum kafir dan tempat ibadat mereka. Teror kekerasan berlangsung ketika target korban berada dalam ruang dan waktu suci. Perlawanan publik, entah konfrontasi terbuka atau tanggapan damai, seperti para warga Kendal dan jemaat Vihara Ekayana, menggugat klaim pelaku akan karakter suci kekerasannya. Mereka menolak stigma pelaku terhadap warga Kendal sebagai preman-preman Kristen dan terhadap jemaat Vihara Ekayana sebagai yang bersekutu dengan pelaku dalam kekerasan di Rohingya. Kekerasan para pelaku mengingkari kesucian yang selama ini mereka mendakunya. Kekerasan dan kesucian itu kutub-kutub yang bertolak belakang. Ayat-ayat Kitab Suci pun mustahil menghubungkan keduanya.

Rakyat lelah dengan para pejabat pemerintah yang seringkali absen dalam krisis-krisis di ruang publik yang mempertaruhkan kelangsungan hidupnya. Pemerintah yang demikian berjarak, bahkan jauh dari rakyatnya (disengaged governance). Lumpuhnya tangan pemerintah dalam menyelesaikan konflik-konflik di ruang publik menjadi semacam izin terbuka bagi para pelakunya untuk bertindak lebih intoleran. 

Di mata rakyat, kepala pemerintahan yang membiarkan praktik-praktik intoleransi terselubung, apalagi kekerasan terbuka di ruang publik, kehilangan kenegarawanannya. Mendesak ruang publik kembali kepada peruntukan awalnya sebagai ruang hidup bersama. Penyucian ruang publik yang benar membuka ruang-ruang kehidupan bagi rakyat marjinal.

Penulis adalah rohaniawan, pengajar di Fakultas Teologi dan Prodi Kajian Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home