Loading...
OPINI
Penulis: Victor Silaen 06:08 WIB | Senin, 23 September 2013

Pileg 2014 dan Calon Koruptor

SATUHARAPAN.COM - Pemilihan Umum untuk memilih para calon anggota legislatif (Pileg) akan kembali digelar pada 9 April 2014. Tapi tahapan DCS (Daftar Calon Sementara) sudah dimulai sejak beberapa bulan silam, untuk kemudian ditetapkan menjadi DCT (Daftar Calon Tetap) pada 22 Agustus lalu.   Meski demokrasi Indonesia telah mengalami perkembangan pesat pasca-Soeharto, namun tetap mengundang kecemasan karena tak luput dari praktik 'politik uang' mulai dari tahapan awal sampai akhir.

Terkait itu saya secara nonformal telah mewawancarai beberapa bakal caleg yang saya kenal secara personal. Hasilnya, hanya dua orang dari partai yang sama yang mengatakan mereka tak dimintai uang sama sekali. Yang lainnya, dari partai-partai yang lain, dimintai uang dengan jumlah yang berbeda-beda: di tingkat DPR jumlahnya bisa mencapai ratusan juta, di tingkat DPRD Tingkat I dan II jumlah tersebut otomatis berkurang.  

Tapi, itu pun belum cukup. Di beberapa partai bahkan para bakal caleg ini masih harus berjuang keras agar posisi sementara mereka aman. Caranya? Sering-seringlah datang ke kantor-kantor pengurus partai itu, entah di tingkat daerah, cabang atau ranting. Tentu saja bukan datang dengan tangan kosong, tapi harus bawa 'oleh-oleh'. 

Nah, kalau sudah aman sampai ditetapkannya DCT nanti, selanjutnya perjuangan memasuki tahapan kampanye terbuka. Di tahapan ini (bahkan sebelum ini pun sudah ada yang melakukan) para caleg harus menyosialisasikan profilnya serta visi-misinya melalui alat-alat kampanye, mulai dari kartu nama, brosur, poster, spanduk, banner, baliho, dan lainnya. Yang punya uang banyak ada juga yang pasang iklan di radio, televisi, dan di bilboard raksasa yang terpampang di jalan-jalan raya.  

Bentuk-bentuk alat kampanye lainnya tentu masih banyak. Dalam event-event tertentu, misalnya, ada yang menyulap kemasan air mineral bergambar wajahnya dan tentu saja plus nomornya sebagai caleg. Ada yang berkunjung ke sana-sini seraya bagi-bagi sembako kepada masyarakat, dan lain sebagainya.

Pendeknya, semua ini memerlukan biaya besar: puluhan juta, ratusan juta, bahkan milyaran rupiah.   Itu sajakah? Tenang, masih ada lagi. Para caleg itu juga harus siap-siap kalau nanti dimintai uang dari orang-orang ini: 1) yang mengaku siap mendukung dan menggalang suara; 2) yang mengaku siap menjadi saksi di TPS (Tempat Pemungutan Suara); 3) oknum panitia pelaksana Pileg di berbagai aras, baik kelurahan, kecamatan dan seterusnya.   Di luar itu tentu saja setiap caleg harus mengeluarkan ongkos untuk konsumsi, akomodasi dan transportasi bagi dirinya sendiri.

Caleg yang mendapat daerah pemilihan (dapil) di kota yang sama dengan tempat domisilinya otomatis akan mengeluarkan ongkos lebih murah. Sebaliknya yang dapilnya di daerah lain, makin jauh dapilnya tentu makin besar ongkosnya.  

Begitulah, bisa dibayangkan dari sekarang bahwa biaya besar yang dikeluarkan para caleg ini akan berkorelasi dengan kemungkinan mereka menjadi koruptor. Ini sangat logis, karena mereka akan selalu berpikir kapan biaya-biaya yang sudah dikeluarkan itu dapat kembali.  Maka dengan hitung-hitungan mudah, ratusan orang di DPR, ribuan orang di DPRD, dan 132 orang di DPD niscaya menjadi politisi yang berharap kelak dapat 'reimbursement' politik yang besarnya minimal sama "bahkan kalau bisa lebih besar. "Balik modal", itu istilahnya. Bahkan kalau bisa untung.  

Inilah sisi gelap demokrasi prosedural Indonesia yang disebut pesta demokrasi ini. Memang, rakyat diberi peluang besar untuk ikut memestakan kebebasan. Namun, tak ada jaminan bahwa yang akan menjadi wakil rakyat nanti adalah orang-orang terhormat yang berkualitas dan berintegritas. Mereka bahkan mungkin saja berubah menjadi koruptor-koruptor yang menodai makna demokrasi itu sendiri.  

Apa boleh buat, demokrasi memang tak menjamin apa-apa kecuali kebebasan. Demokrasi tak pernah dimaksudkan dan tak akan pernah bisa didesain untuk menjadi sistem yang sempurna. Itu sebabnya demokrasi menuntut kesabaran dari kita semua dan kreativitas untuk terus-menerus memberi kontribusi yang progresif. 

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home