Mencegah PHK Alias Menekan Upah
SATUHARAPAN.COM - Aroma Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menyengat hari-hari terakhir ini akibat krisis ekonomi yang mulai membayang. Nilai tukar dollar Amerika Serikat terus menguat hingga melampaui Rp 11.000, dan menurut Goldman Sach Rupiah masih akan merosot. Pemerintah pun sibuk mengeluarkan kebijakan penangkal, salah satunya mengerem laju PHK melalui berbagai insentif bagi industri.
Pernyataan sejumlah pihak sepertinya mendukung kondisi ini. Hawa PHK massal menyebar, terutama pada industri padat karya. Pada jenis industri ini, serapan tenaga kerjanya luar biasa. Industri tekstil, alas kaki, dan sepatu termasuk jenis padat karya yang mampu merekrut buruh hingga puluhan ribu orang.
Data Korean Chamber of Commerce di Indonesia menyebut, sebanyak 63.680 pekerja sudah dirumahkan per tanggal 31 Juli 2013 dan 15.000 pekerja dalam proses dirumahkan. Disebutkan juga, jumlah tersebut bisa mencapai 110.000 pekerja tanpa adanya implementasi penangguhan UMP. Industri garmen tercatat mem-PHK 37.500 orang, industri alas kaki 18.500 orang, industri elektronik 5.000 orang, industri rambut palsu (wig) 2.000 orang, dan industri mainan anak 680 orang.
Sementara itu, Ketua Apindo Anton Supit mengklaim 44 ribu buruh sepatu di-PHK dari sedikitnya 29 perusahaan, juga akibat beban pembayaran UMP/K yang tinggi. Menurut Anton, kondisi saat ini memaksa pengusaha merasionalkan jumlah pekerja supaya pabrik tetap berjalan di tengah kenaikan upah minimum yang tidak masuk akal. Anton juga memprediksi industri padat karya pelan-pelan akan habis jika masalah upah minimum yang sering dipolitisasi tak segera diatasi (kompas.com, 29/7).
Simalakama
Kebetulan, situasi mirip permulaan krisis yang terjadi sekarang memang bebareng dengan kebijakan pengupahan yang diklaim memberatkan pengusaha. Sejak Januari lalu, perusahaan seantero Jabodetabek harus membayar upah minimum sekira Rp 2 jutaan. Gubernur DKI Jakarta yang baru terpilih saat itu, Joko Widodo, mematok upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp 2,2 juta, atau naik 44% dari tahun sebelumnya. Kenaikan drastis ini sontak diikuti upah minimum dalam jumlah yang tak jauh berbeda di Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, dan Cilegon.
Pengusaha menghembuskan keluhan bahwa upah sebesar itu terlalu besar. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyebut banyak pabrik terbirit-birit menyingkir ke Jawa Tengah dan Jawa Timur yang upahnya hanya Rp 1 jutaan. Bahkan, adapula yang merelokasi pabrik ke seberang lautan, seperti ke Vietnam, Kamboja, atau Bangladesh demi mencicipi gurihnya upah murah. Bagi yang tak punya pilihan, rasionalisasi atau PHK sebagian buruh ditempuh demi menghindari kebangkrutan.
Para pemberi upah ini lalu berinisiatif menggandeng pemerintah agar preseden kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi pada tahun ini tidak terjadi lagi untuk tahun depan (2014). Mereka telah mengkaji agar kenaikan upah minimum dibuat dalam bentuk kebijakan khusus. Nantinya, akan ada rumusan atau formula baru yang menjadi referensi penentuan upah. Menteri Perindustrian MS Hidayat menyebut kebijakan khusus itu kira-kira inflation rate plus certain percent yang bisa didiskusikan di forum tripartit.
Hasilnya, pemerintah telah merancang Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengupahan. ”Karena mengamandemen undang-undang perlu proses yang lama, akhirnya kami melakukan manuver lain, yaitu menyusun inpres. Nantinya, inpres ini akan menjadi guideline kepada penerima wewenang: bupati, wali kota, dan gubernur. Inpres ini akan diberikan untuk dijadikan pedoman," kata Menteri MS Hidayat.
Pencegahan PHK adalah dalihnya. Pemerintah bahkan telah mencanangkan tahun 2014 sebagai ”Tahun tanpa PHK”. Namun ”tekad mulia” ini bukan tanpa syarat. Ada yang harus dikorbankan, dan korban pertama-tama tak lain adalah buruh, yang membanting tulang tiap hari, agar rela mendapatkan imbalan lebih kecil. Pilihannya mirip-mirip buah simalakama, tetap bekerja meski upah riil berkurang, atau menuntut upah naik tetapi terancam di-PHK.
Menu Bulanan
Bagi buruh, kabar akan terjadinya gelombang PHK massal bukanlah hal mengagetkan lagi. Buruh telah menyadari dirinya dalam posisi rentan, sehingga krisis tidak krisis, ancaman PHK tetap membayang di pelupuk mata. Sebabnya adalah mekanisme pasar kerja lentur (labour market flexibility) yang diperkenalkan sejak 1998. Mekanisme ini manifes dalam wujud sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Keduanya semakin massif diterapkan walaupun peraturan perundangan (UU No 13 tentang Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No 19 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain) mengaturnya dengan ketat. Saat ini, nyaris tak ada pekerja baru yang lepas dari status kontrak dan atau outsourcing. Bahkan pemerintah juga bakal mengadopsi sistem kontrak untuk merekrut para pegawai barunya.
Tak heran, jumlah buruh kontrak dan outsourcing kini jauh melampaui buruh berstatus tetap, yakni berkisar 60 persen dari total 33 juta buruh di Indonesia. Artinya, separuh lebih buruh Indonesia berada dalam kerentanan sewaktu-waktu terkena PHK.
Dengan sistem ini, perusahaan dapat sesuka hati memutus kontrak atau tak memperpanjangnya, yang berarti juga di-PHK. Buruh seperti anak sekolahan yang dalam empat atau enam bulan mengalami situasi harap-harap cemas saat menghadapi ujian. Jika berlaku baik menurut ukuran perusahaan dan masih dibutuhkan, berarti si buruh lulus dan dihadiahi perpanjangan kontrak. Sebaliknya apabila tak dibutuhkan lagi, si buruh harus siap-siap mencari pekerjaan baru.
Fenomena ini akan terus eksis sepanjang kedua sistem itu berlaku dan tak berhubungan langsung dengan upah minimum atau krisis yang akan terjadi. Pabrik-pabrik padat karya di daerah ber-UMK lebih rendah pun tetap memberlakukan putus-sambung kontrak pada para buruhnya.
Ada kemungkinan data-data yang menyebutkan puluhan ribu buruh telah di-PHK akibat UMP tinggi, adalah buruh-buruh yang kontraknya selesai. Sebagian dari mereka tidak mendapat perpanjangan kontrak lagi, dan dalam beberapa kasus perpanjangan kontrak memerlukan waktu lebih lama, sehingga dalam masa jeda ini buruh tetap terhitung sedang di-PHK. Kecenderungan terakhir ini kerap terjadi menjelang masa pembayaran tunjangan hari raya (THR). Menjelang puasa buruh diputus kontraknya, dan diperbarui lagi setelah Lebaran.
Sementara itu, buruh berstatus tetap memang berposisi lebih kuat, tapi juga tak aman 100 persen dari PHK massal. Potensi rawan hadir saat pergantian pemilik perusahaan, atau ketika buruh tetap ini hendak mendirikan serikat buruh (union busting). Banyak kasus dimana pengusaha lebih memilih membayar mahal pengacara ketimbang berkompromi dengan tuntutan buruhnya.
Penulis adalah Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...