Loading...
OPINI
Penulis: Antonius Cahyadi 21:46 WIB | Minggu, 15 September 2013

Menghidupi Rumah Bersama: Indonesia

SATUHARAPAN.COM - Bagaimana rasanya menjadi Indonesia? Pertanyaan itu selalu muncul di saat-saat “tujuhbelasan” yang memang selalu jatuh di bulan Agustus.

Di “tujuhbelasan” yang lalu, kebetulan saya menyempatkan diri untuk melihat rasa Indonesia bersama saudara-saudara penghayat. Saya mengikuti upacara bendera untuk memperingati proklamasi kemerdekaan RI yang ke-68. Sudah lama saya tidak mengikuti upacara bendera, sejak SMA, lebih dari 20 tahun yang lalu. Maka, ini yang pertama sejak lama dan bersama para penghayat.

Tata cara upacara bendera yang mereka lakukan ternyata tidak jauh berbeda dengan yang dulu pernah saya lakukan ketika SD, SMP dan SMA. Pengibaran bendera, lagu-lagu, pembacaan mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, mengheningkan cipta dan lain sebagainya, persis sama dilakukan. Buat saya tata cara itu tak ada yang istimewa. Tetapi pakaian yang mereka kenakan, suasana kebersamaan yang terpancar lewat tatap mata dan suara menjadi rasa yang begitu istimewa.

Rasa Indonesia dengan bayangan kemegahan pulau-pulau Nusantara dan kekayaan budayanya, terasa begitu tulus dan sederhana. Tanpa topeng-topeng pencitraan protokoler. Jujur mengalir apa adanya. Ini sesuatu yang luar biasa. Dan melihat mereka menghormat bendera sambil bernyanyi “Indonesia Raya”, membuat saya ikut bangga pada bendera dan lagu itu. Memandang hormat yang tulus dan mendengarkan lagu yang indah seperti mendengarkan doa harapan untuk Indonesia. Saya jadi ikut bernyanyi.

Menurut saya tidak mudah bersikap demikian ketika nyatanya mereka dieksklusikan dari ruang publik oleh negara, dan juga oleh saudara-saudara mereka yang merasa memiliki dan didukung kekuasaan dominan. Sejak tahun 1950an mereka sudah dinomorduakan karena dianggap tidak beragama. Di tahun 1965an mereka mulai menjadi objek peng-agama-an. Momok ateisme membayang-bayangi. Di tahun 1970an mereka tidak dianggap sama sekali dalam sistem administrasi kependudukan dan catatan sipil. Mereka harus beragama seperti yang dipilihkan oleh negara. Hal ini semakin mengafirmasi kebijakan “peng-agama-an” negara sebelumnya. Mereka menjadi rebutan bagi “agama-agama resmi” yang membutuhkan pengikut.

Mereka tidak memiliki akta kelahiran karena perkawinan mereka tidak diakui. Sekarang pun kerap demikian karena mereka tidak memiliki organisasi yang harus diakui pemerintah. Mereka sukar menjadi pegawai negeri. Jika mungkin menjadi pegawai negeri pun mereka kadang tidak memperoleh tunjangan keluarga karena mereka tidak memiliki akta perkawinan, sehingga selama menjadi pegawai, mereka berstatus “belum berkeluarga”.

Di dalam lingkup pergaulan hidup bersama masyarakat sipil, mereka distigma sebagai kafir oleh mereka yang, walaupun berjumlah kecil, tetapi mendominasi pandangan mayoritas. Keberadaan mereka dianggap tidak penting oleh pemerintah yang menyelenggarakan negara. Dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan (UU no. 23 tahun 2006), mereka, para penghayat ditetapkan untuk mengosongkan kolom agama dalam KTP mereka.

Bagaimana kategori kosong harus dilihat berhadapan dengan misalnya kategori “lain-lain” atau nama agama resmi yang diakui pemerintah, berkaitan dengan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Apakah “yang kosong” sama dengan “yang isi”? Tentu tidak.

Maka jelas tidak ada kesamaan di hadapan hukum di antara mereka dan warga negara yang lainnya. Surat Edaran No: 472/665/MD perihal Penerbitan Surat Keterangan bagi Penghayat Kepercayaan yang dikeluarkan oleh Dirjen Kependudukn dan Catatan Sipil, Kementrian Dalam Negeri memang bermaksud untuk lebih memberikan penghargaan kepada para penghayat dengan menginstruksikan dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang ada di seluruh Indonesia untuk melayani penghayat, tetapi itu pun tidak menghapus kenyataan bahwa, justru malah memperkuat, para penghayat dianggap berbeda bahkan tidak ada (kosong).

Bagi saya ini sungguh menarik. Mereka yang dianggap “kosong” ternyata mampu memberi isi pada upacara “tujuhbelasan” yang hampir-hampir kosong tanpa makna. Saat saya menunjukkan foto mereka yang melakukan upacara “tujuhbelasan” banyak orang berkomentar dan bertanya “Apakah mereka sudah merdeka?” Saya berimajinasi mereka para saudara penghayat itu akan menjawab “Ya kami sudah merdeka… yang belum merdeka adalah pemerintahan negara ini. Mereka belum merdeka dari jerat pengkotak-kotakan manusia berdasarkan agama dan keyakinan”. 

Negara, Rumah Bersama

Ikut bersama dalam upacara bendera warga masyarakat adat (para penghayat) membuat saya melihat bahwa mereka masih memiliki harapan yang besar pada Negara Republik Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang mereka kumandangkan bukan hanya sekedar bahan bacaan seremonial, tetapi juga doa bagi rumah mereka Indonesia.

Ini membuat Indonesia sebagai Negara mempunyai rasa tersendiri di hari kemerdekaannya. Saya merasakan Indonesia sebagai sebuah rumah yang dibangun di atas dasar tertentu dan dikerangkakan dalam norma hidup bersama di ruang publiknya.

Ironisnya, dasar Negara ini, Pancasila, justru dipertanyakan dan diragukan oleh kelompok-kelompok yang menyingkirkan mereka dan menganggap mereka kafir. Dan lebih tragis lagi aparat Negara bahkan terlihat melindungi kelompok-kelompok tersebut.

Bahkan yang terasa aneh, mereka mempertanyakan ke-ber-Tuhan-an penghayat dengan dalih sila pertama Pancasila, padahal para penghayat itu justru memperlihatkan makna ber-Tuhan yang jelas berbeda dengan ber-agama. Dalam upacara yang saya hadiri itu misalnya ketika mengheningkan cipta dan berdoa, sang pembina menyebutkan “berdoa menurut agama masing-masing, tetapi berharap dan bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa”. Ungkapan ini selaras dengan Pancasila yang menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lalu kita bisa bertanya, Negara Indonesia itu rumah bagi siapa? Apakah bagi penghayat saja dan mereka yang disingkirkan – yang bernasib sama dengan para penghayat — atau mereka yang merasa memiliki kekuasaan dominan sehingga sanggup melemahkan, bahkan meruntuhkan, Negara Indonesia?

Seharusnya Negara Indonesia memang menjadi rumah bersama. Rumah yang menjadi tempat bagi kehidupan bersama. Membangun rumah untuk kehidupan bersama memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Keteguhan hati para penghayat, dan juga mereka kaum minoritas yang selalu berharap pada negara mengingatkan kita bahwa Negara Indonesia layak diperjuangkan. Layak diperjuangkan untuk semua warga negara.

Kerelaan untuk mau berbagi dan mengurangi “keakuan” kelompok menjadi perekat yang sanggup membuat rumah bersama itu berdiri. Rumah yang sedemikian akan menjadi tempat berlindung bagi semua orang, termasuk mereka yang kerap mempertanyakan keberadaan rumah itu sendiri.

Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum UI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home