Loading...
OPINI
Penulis: Eka Pangulimara Hutajulu 22:08 WIB | Rabu, 11 September 2013

Tak Ada Hal Bagus dari Perang, Menteri Gita...

SATUHARAPAN.COM - Pernyataan mengejutkan datang dari seorang menteri sekaligus sosok yang digadang-gadang menjadi calon presiden, Gita Wirjawan. Dalam berita berjudul ”Serangan AS ke Suriah Bagus untuk Ekonomi RI” (Investor Daily, 6/9) Menteri Perdagangan menyampaikan pandangan yang terkesan oportunistik.

“Kita tidak menghendaki perang. Tapi, kalau Amerika Serikat akhirnya menyerang Suriah dan pihak mana pun, termasuk Indonesia, tidak bisa mencegah, kita justru mendapatkan manfaat,” kata sang menteri pada acara briefing menjelang pertemuan puncak G-20 yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di St Petersburg, Rusia (5/9).

Dalam pandangan Gita, selain ancaman assets bubbles yang diakibatkan penggelontoran dana The Fed, pemulihan ekonomi AS akan mengurangi (tapering) quantitative easing (QE). The Fed memang berencana memperketat kebijakan uang dengan "tapering" atau mengurangi jumlah dana stimulus yang dianggarkan sebesar 85 miliar dolar AS per bulan pada 17-18 September mendatang (sayangi.com, 5/9).

Penghentian QE ini mendorong dana investasi portofolio mengalir ke AS, mengejar yield (imbal hasil) yang terus membubung. Nah, jika serangan militer ke Suriah itu terjadi, harga minyak akan melejit. Begitu pula harga komoditas pertambangan dan perkebunan. Tapi, pada saat yang sama, yield surat utang di AS akan turun, termasuk yield treasury bills.

Saat ini memang ada kemungkinan kuat pecahnya perang baru yang dikomandoi (lagi) oleh Amerika Serikat menyingkirkan rezim Bashar al-Assad dari Suriah. Panel Senat AS, Rabu malam waktu setempat (4/9), memutuskan untuk menyetujui pengerahan militer AS ke Suriah. Persetujuan itu diputuskan melalui pemungutan suara setelah debat maraton dan sengit selama dua hari. Keputusan panel itu akan segera dibawa ke sidang penuh senat untuk kemudian dilajutkan ke Kongres (kompas.com, 5/9).

Isu penyerangan terhadap Suriah muncul setelah adanya dugaan serangan gas beracun terhadap warga sipil yang dilakukan pemerintah Suriah sendiri (21/8). Pihak oposisi mengklaim ribuan orang tewas akibat serangan di Ghouta, pinggiran ibukota Damaskus itu. Seperti biasa, AS menempatkan diri layaknya polisi dan hakim dunia sekaligus, merasa berhak menyerang negara lain meski tanpa dukungan negara lain, PBB, bahkan juga dari rakyatnya sendiri. Jajak pendapat yang dilakukan Washington Post dan ABC News mendapati 59 persen warga Amerika yang disurvei menentang serangan misil terhadap pemerintah Suriah.


Tidak Sensitif
Keberpihakkan Indonesia terhadap terciptanya perdamaian dunia sudah tak terbantahkan lagi. Konstitusi melalui Pembukaan UUD 1945 jelas-jelas mengutarakan hal itu. Perang dalam berbagai bentuk dan alasannya harus ditolak. Persoalan apakah penolakan ini digubris atau tidak, adalah hal lain. Pada prinsipnya adalah sikap tegas menolak perang dan kemungkinan mengambil tindakan tertentu untuk mengurangi penderitaan korban perang.

Indonesia mungkin mustahil menghalang-halangi niat AS. Toh, beberapa negara yang lebih kuat dari Indonesia juga tak kuasa mencegah agresi AS, seperti ditunjukkan pada kasus Afghanistan dan Irak. Namun, tidak mampu mencegah bukan berarti menghalangi Indonesia untuk bersikap tegas. Beberapa negara Amerika Latin yang lebih kecil dari Indonesia (Venezuela, Bolivia, Kuba) tetap bersuara keras terhadap upaya-upaya yang mendorong terjadinya peperangan.

Sudah cukup lama Suriah bergejolak. Perang saudara antara pemerintah dan oposisi yang didukung AS dan Eropa telah mengorbankan puluhan ribu rakyat sipil tak berdosa. Sulit dibayangkan berapa puluh ribu lagi nyawa yang melayang gara-gara agresi AS dan sekutunya. Sekalipun Bashar al-Assad kalah dan tersingkir, tak ada jaminan perang berakhir dan korban tak berjatuhan lagi. Irak dan Afghanistan adalah pelajaran pahit. Rezim di kedua negeri itu berganti akibat intervensi AS, namun kekerasan yang merampas ribuan nyawa seperti tak ada ujungnya.

Kembali ke pernyataan Menteri Gita, apa maksud pernyataannya bahwa serangan ke Suriah bermanfaat bagi Indonesia? Manfaat macam apa yang bisa kita peroleh dari ribuan korban perang dan layakkah kita menerimanya? Alih-alih tak berdaya mencegah serangan Uwak Sam ke Suriah, jangan-jangan seorang Gita yang merupakan bagian dari pemerintahan SBY sedang menginginkan perang di Suriah benar-benar terjadi. Keinginan tersirat ini jelas tidak sejalan dengan konstitusi yang sangat mendukung perdamaian dunia dan anti-penjajahan.

Jika pun tidak ada keinginan semacam itu, apa yang disampaikannya tak mengandung sisi sensitif sedikit pun: berharap berkah dari penderitaan rakyat di negara lain. Seandainya situasi berjalan terbalik, yakni justru Indonesia yang diserang AS, dan hal ini dinyatakan sebagai sesuatu yang bagus dan bermanfaat bagi negara tetangga, bukankah pernyataan itu menyakitkan bagi rakyat Indonesia?

Terkait adanya manfaat serangan, yang salah satunya adalah kenaikan harga minyak dunia, sungguh sulit dipahami adanya kebaikan di sana. Pengalaman selama ini membeberkan, kenaikan harga minyak dunia berujung pemotongan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Jika tidak dilakukan, katanya, bisa membuat anggaran negara jebol. Ujung-ujungnya, harga minyak dalam negeri turut naik dan selanjutnya, rakyat harus berkorban (lagi) mengeluarkan biaya lebih besar untuk transportasi dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Perang di Suriah juga semakin menjauhkan kawasan Timur Tengah dari kestabilan ekonomi dan politik, yang dalam jangka waktu panjang ikut menyumbang kerusakan ekonomi secara global. Apalagi ada laporan-laporan yang menyebutkan potensi peperangan Suriah yang bisa menyulut perang lebih luas lagi, bahkan Perang Dunia Ketiga. Di era globalisasi seperti sekarang, sulit bagi negara manapun (termasuk Indonesia) mendapatkan benefit bermakna dari situasi dunia yang penuh ancaman.

Jika kita jeli mengamati peta konflik Suriah, gejala ekstremisme keyakinan tertentu sangat terasa di sana. Pihak AS sudah jauh-jauh hari menyadarinya. Kalangan Republik khawatir dukungan AS pada oposisi Suriah hanya membuat kelompok-kelompok ekstremis mendapat angin. Ini berarti, terorisme yang selama ini diperangi AS, secara tidak langsung justru diperkuat kedudukannya oleh mereka sendiri. Bagi Indonesia, yang telah banyak menderita oleh tindak terorisme, hal ini tentu adalah kabar buruk.

Jadi, tidak ada hal bagus dari perang, Menteri Gita....

 

Penulis adalah Analis sosial dan ekonomi-politik

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home