Merenungi Penggalan Serat Kalatidha: Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi
SATUHARAPAN.COM - BAPAK Presiden Jokowi yang saya hormati. Bulan Maret 2016 ini Anda sudah memasuki bulan ke 18 kepemimpinan Anda sebagai Presiden Republik Indonesia.
Saya mengikuti dan mencoba memahami kebijakan-kebijakan yang Anda keluarkan. Banyak orang senang dan memuji kepemimpinan Anda. Orang mengatakan, kepemimpinan Anda smart. Banyak pemimpin negara mengakui Anda sebagai orang baik, tidak korup, tidak KKN, dan lain-lain. Bahkan media memberitakan, anak Anda mengantarkan isterinya periksa kehamilan di rumah sakit di Solo tanpa pengawalan yang mencolok, dan mengikuti ketentuan yang berlaku: ikut antri. Media juga memberitakan, anak Anda menjadi wirausaha tanpa mendompleng kekuasaan bapaknya sebagai presiden. Juga isteri Anda tetap rendah hati tanpa mau menonjolkan diri sebagai ibu Negara. Bahkan ketika anak perempuan Anda sewaktu test menjadi pegawai negeri sipil di kota Solo kalah nilai dari keponakan saya sehingga keponakan saya yang lolos test dan menjadi pegawai pemkot Surakarta, Anda tidak marah dan tidak menggunakan kekuasaan untuk memaksakan anak Anda lolos. Padahal Anda adalah mantan walikota Solo. Semua itu membuka mata semua orang bahwa Anda benar-benar orang baik! Anda merupakan teladan bagi banyak orang bagaimana seharusnya kehidupan seorang pejabat Negara.
Akan tetapi, Pak Jokowi, cukupkah seorang pemimpin hanya mengandalkan keberadaan diri sebagai orang baik saja? Saya ingin mengutip satu bait tulisan Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga kraton Surakarta Hadiningrat yang hidup di abad 19. Sebagai sesama orang Solo saya berharap Anda memahaminya. Demikian: “Ratune ratu utama, patihe patih linuwih. Pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik. Parandene tan dadi, paliyasing kalabendu, malah saya andadra, rebeda angreribedi. Beda-beda hardening wong saknagara.” Terjemahan bebasnya demikian, “ratunya (kepala Negara) adalah ratu yang utama, patihnya (wakilnya) memiliki kemampuan yang lebih. Para pejabatnya hidup sejahtera dan keputusan-keputusannya sangat bijaksana. Namun semua itu tidak bisa menjadi penangkal kalabendu (masa penderitaan, kekisruhan, kerusakan), bahkan semakin menjadi-jadi (semakin gaduh). Kesulitan hidup bertambah dan semakin membelit. Kehendak orang (para penguasa) satu negara berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan”.
Bapak Presiden Jokowi, tulisan tersebut merupakan bait kedua dalam Serat Kalatidha yang ditulis R.Ng. Ranggawarsita di abad 19, jauh sebelum kita lahir. Tulisan menggambarkan keadaan kerajaan pada waktu itu menurut pengamatan sang pujangga. Namun saya melihat dan merasakan, penggalan dari Serat Kalatidha itu sangat relevan di masa sekarang ini.
Anda sebagai Presiden, wakil presiden dan para pejabat Menteri dan bahkan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta pejabat Negara lainnya, hidup sejahtera dan keputusan-keputusan politik serta kebijakannya sudah cukup baik. Tetapi seperti dikatakan dalam penggalan karya sastra klasik yang dikemas dalam tembang Sinom itu, semua itu tidak bisa menjadi penangkal berbagai prahara, musibah, dan kesulitan hidup yang diderita rakyat. Bahkan dikatakan, semakin menjadi-jadi (malah saya andadra). Rakyat semakin menderita karena tekanan-tekanan hidup dan kesulitan-kesulitan semakin membelit!
Kenapa bisa terjadi seperti itu? Di akhir bait tersebut dikatakan, “beda-beda hardane wong saknegara”, yang artinya kemauan (persepsi) para pejabat itu mengenai arah dan tujuan dalam mengatur negara ini berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Sebagai orang yang pernah menjadi wartawan, saya melihat banyak ketidakharmonisan kebijakan yang diambil oleh para pejabat Negara. Misalnya saja Menteri Pertanian mengatakan surplus beras telah dicapai. Juga hasil bumi lainnya seperti jagung. Tetapi Menteri Perdagangan memberikan peluang untuk impor karena masih kekurangan. Bahkan garam juga masih diimpor ribuan ton, yang menyebabkan petani garam melakukan aksi demo. Padahal kita ingat, Menteri Kelautan dan Perikanan pada awal masa jabatannya sangat memrpihatinkan adanya impor garam dan ia akan menghentikan impor tersebut. Juga tentang kebijakan impor ikan laut. Tetapi Menteri Perdagangan bahkan terang-terangan dalam kebijakannya berupa Peraturan Menteri membuka mengenai kran impor ikan.
Bapak Presiden, itu hanya contoh kecil. Anda sebagai Presiden pernah menegor para Menteri supaya mereka tidak membuat gaduh, dan kebijakan mereka supaya terkoordinasi dan sejalan dengan kebijakan Presiden. Tetapi itulah kenyataan yang terjadi: masing-masing Menteri mengeluarkan kebijakan menurut kepentingan sektoral. Juga Menteri Pemuda dan Olahraga yang membekukan PSSI. Tidakkah Bapak Presiden melihat ini sebagai masalah yang menyebabkan penderitaan banyak orang?
Berapa banyak pemain sepakbola yang harus menganggur karena tiadanya kompetisi, dan berapa banyak orang yang harus ditanggung hidupnya oleh para pemain? Padahal usia seorang pemain sep[aknola itu terbatas. Kalau sampai lewat usia emasnya, mereka tak lagi bisa merumput di lapangan hijau dan harus banting stir mencari kerja lainnya untuk sekadar bertahan hidup. Untunglah akhirnya Anda menyadari hal itu dan memerintahkan supaya pembekuan PSSI dicabut.
Bapak Presiden Jokowi yang saya hormati, penderitaan demi penderitaan dirasakan oleh rakyat secara nyata. Dalam perspektif budaya Jawa, kita sedang berada dalam jaman kalabendu. Orang Jawa memahami bahwa penderitaan-penderitaan hidup itu adalah bebendu, yaitu penghukuman oleh karena alam yang tidak harmonis. Anda sebagai orang Jawa seharusnya memahami banyak kebijakan Pemerintah yang membuat keadaan alam ini tidak harmonis, dan itulah yang menyebabkan berbagai penderitaan. Kegaduhan politik, kebijakan yang saling bertentangan, pencanangan mega-proyek yang tidak bersentuhan dengan kebutuhan rakyat kecil secara langsung, sangat mengganggu keharmonisan alam. Baru-baru ini Anda mencanangkan proyek-proyek besar yang nantinya diharapkan akan menyejahterakan rakyat. Tetapi benarkah itu?
Kita lihat saja proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Proyek itu, katanya akan menjadi bagian dari proyek kereta cepat Jakarta – Surabaya. Anda sebagai presiden sudah meletakkan batu pertama dimulainya pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta – Bandung. Menurut pemberitaan di media, banyak ijin termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) belum ada. Bagaimana mungkin sebuah proyek dikerjakan padahal beberapa ijin belum keluar? Bukankah itu sebuah pelanggaran aturan? Belum lagi kalau kita teliti kembali pernyataan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan ketika baru-baru dilantik sebagai Menteri, yang berpendapat bahwa harga tiket kereta cepat Jakarta – Subaraya akan jauh lebih mahal ketimbang tiket pesawat terbang, sehingga kereta cepat bukanlah pilihan prioritas. Lagipula siapa yang akan menikmati fasilitas mewah seperti itu? Bukankah lebih baik mempermudah dan mempercepat pengangkutan bahan pangan yang merupakan kebutuhan rakyat secara riil sehingga terjadi percepatan keadilan social?
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat, merenungkan penggalan Serat Kalatidha yang saya kutip diatas, saya ingin mengatakan bahwa untuk menjadi pemimpin, tidak cukup hanya menjadi orang baik. Harus memiliki sikap tegas dan jelas dalam menentukan kebijakan. Sikap tegas dan jelas itu dibutuhkan untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan, sehingga tidak terjadi kegaduhan atau kehebohan karena pembiaran-pembiaran. Sikap yang jelas dan tegas, tidak “sluman slumun salamet” (bermain-main politik yang tujuannya hanya mencari selamat) diperlukan agar tidak membuat penderitaan itu bertambah-tambah (malah saya andadra) den kesulitan hidup semakin membelit (reribed angreribedi).
Salam dari saya,
Padmono Sk.
Penulis adalah mantan wartawan di tahun 1980-an/ pengamat politik/dan pencinta budaya Jawa.
Editor : Trisno S Sutanto
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...