Mesir: El-Sisi Janji Pemerintahannya Tidak Otoriter
KAIRO, SATUHARAPAN.COM – Abdel Fattah El-Sisi, yang kemungkinan besar memenangi pemilihan presiden mesir berjanji tidak akan membawa kembali pemerintahan otoritarian pada masa lalu dalam pemerintahnnya yang akan datang.
Hasil resmi pemilihan presiden pada pekan lalu akan diumumkan pekan depan (3 -4/5) dan presiden terpilih akan dilantik. El-Sisi, menurut berbagai hasil hitung cepat memperoleh sekitar 96 persen suara, mengalahkan saingannya dari kelompok oposisi, Hamdeen Sabahi.
Abdel Fattah El-Sisi, mantan pemimpin militer Mesir, mengatakan bahwa dia akan berjuang sampai mencapai prioritas untuk menegakkan keamanan dan stabilitas Mesir, dan tidakakan mengabaikan siapapun ketika menjabat sebagai presiden.
Hal itu adalah pernyataannya ke publik yang pertama setelah berbagai berita tentang kemenangannya dalam pemilihan presiden. Dia mengatakan pada wawancara dengan media situs berita Kuwait, Al Jornal, hari kamis (29/5) seperti dikutip media Mesir, Al Ahram.
Namun El-Sisi sebelumnya pernah berjanji akan "menghabisi" Ikhwanul Muslimin jika menjadi presiden. Setelah Revolusi Januari 2011, pada Juni 2012 Mesir memilih presiden yang dimenangi oleh Mohammed Morsi dari Ikhwanul Muslimin. Namun pemerintahannya yang sectarian mengundang protes secara luas rakyat Mesir.
Setelah demontrasi rakyat mesir, El-Sisi mencopot Morsi dari jabatan presiden pada Juli 2013, dan membentuk pemerintahan sementara. Protes oleh Ikhwanul Muslimin telah menimbulkan gelombang kekerasan, ratusan pendukung Ikhwanul Muslimin meninggal dan ribuan yang dipenjara, termasuk Morsi.
Kekhawatiran Otoritarian
Tindakan keras pada Ikhwanul Muslimin mengundang kekhawatiran bahwa pemerintahan El-Sisi akan jatuh kepada otoritarian seperti pemerintahan Hosni Mubarak yang digulingkan pada 2011.
Untuk meredakan kekhawatiran, El-Sisi menyatakan berjanji "tidak akan kembali (ke masa lalu). “Kami akan bergerak maju. Kita tidak punya waktu untuk perbedaan dan terlibat dalam pertempuran."
"Kami mencari mitra nasional riil yang meliputi semua orang Mesir , termasuk pemuda," kata dia.
Terkait pemilihan presiden, Hamdeen Sabahi menyatakan mengakui kekalahan pada hari Kamis (29/5). Namun dia juga menyatakan keraguan atas jumlah pemilih diperkirakan 46 persen, terutama setelah perpanjangan pemungutan suara satu hari oleh pemerintah.
Demokrasi Penuh
Sementara itu, pemerintah Inggris menyatakan bahwa pemilihan presiden sebagai langkah penting menuju transisi demokrasi di Mesir. Namun Inggris tidak berkomentar tentang hasilnya. "Pemilihan presiden Mesir penting bagi proses transisi demokrasi dan kembali ke pembentukan pemerintah terpilih di Mesir," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Inggris.
Inggris mengatakan presiden baru menghadapi tantangan untuk membangun stabilitas jangka panjang yang "akan dicapai hanya melalui pemerintahan inklusif yang mewakili semua pihak." Inggris menyerukan sebuah demokrasi yang berfungsi penuh dalam segala aspek, termasuk peradilan yang independen, masyarakat sipil yang dinamis dan media yang bebas.
Dalam pertemuan di London dua pekan lalu Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague bertemu Menlu Mesir, Nabil Famhy, dan dia menyerukan pengadilan yang independen, masyarakat sipil yang dinamis dan media yang bebas sejalan dengan komitmen yang dibuat dalam konstitusi baru Mesir.
Namun Hague juga mengritik penutupan ruang politik di Mesir dalam beberapa bulan terakhir, masalah terkait sidang wartawan Mesir dan asing, serta vonis hukuman mati massal terhadap pendukung presiden terguling, Mohammed Morsi.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...