Mesir Membangun Konstitusi Inklusif
SATUHARAPAN.COM – Proses politik yang dijalankan pemerintahan sementara Mesir diharapkan akan membawa negara itu pada jalan menuju pemerintahan sipil dan negara demokratis. Proses ini mulai menunjukkan tanda ketika panitia beranggota 10 orang menyelesaikan perubahan konstitusi.
Konstitusi lama (2012) dibuat pemerintahan Presiden Mohammed Morsi dinilai sektarian dan mengabaikan komponen bangsa di luar kelompok Islamis.
Beberapa perubahan yang mendasar yang dilakukan oleh panitia 10 adalah tentang hubungan negara dan agama. Draft baru mempertahankan Pasal 2 yang menyatakan bahwa Islam adalah agama negara, Arab sebagai bahasa resmi dan Islam merupakan sumber utama perundang-undangan.
namun panitia mencabut Pasal 219 yang paling banyak ditentang karena memberi peluang berbagai penafsiran terhadap syariat Islam. Pasal ini produk pemerintahan Morsi yang menyatakan, "Prinsip-prinsip syariah Islam, termasuk interpretasi yang diterima secara umum, aturan-aturan dasar dan yurisprudensi, dan sumber-sumber yang diketahui secara luas ditetapkan oleh sekolah Sunnah dan Agama. "
Parpol Agama
Panitia mengubah Pasal 6 yang melarang pembentukan partai politik berdasarkan agama atau mencampurkan agama dan politik. Pasal perubahan ini menyebutkan, "dilarang membentuk partai politik atau melakukan kegiatan politik atas dasar pondasi agama atau atas dasar diskriminasi dalam hal jender atau jenis kelamin."
Pasal perubahan ini mengandung konsekuensi pembubaran puluhan partai politik Islam baru yang terbentuk setelah revolusi Januari 2011, termasuk Ikhwanul Muslimin dan Partai Keadilan yang dibentuknya.
Tentang pemilihan umum, sitemnya akan kembali pada sistem pencalonan individu yang digunakan di Mesir pada pemerintahan Presiden Husni Mubarak. Perubahan penting lain adalah penghapusan Dewan Syura, dan majelis tinggi parlemen.
Referendum
Apakah draft ini akan diterima, tergantung pada pembahasan panitia 50 yang diberi waktu 60 hari untuk membahasnya. Yang menarik, panitia ini disebutkan mewakili partai politik, intelektual, buruh, petani, swasta, dewan nasional, Al-Azhar, gereja Mesir, angkatan bersenjata, polisi, dan tokoh-tokoh publik lainnya, termasuk 10 pemuda dan perempuan.
Mereka akan dipilih oleh lembaga masing-masing, dan kabinet akan memilih tokoh dari masyarakat. Mereka akan bekerja selama 60 hari. Hasilnya akan menjadi draft final yang akan dibahas dalam perdebatan publik. Setelah itu, pemerintah sementara akan mengajukan referendum atas konstitusi baru itu.
Jika proses ini berjalan, maka Mesir akan segera memiliki konstitusi baru yang diterima oleh seluruh komponen dan akan menjadi landasan bagi reformasi demokrasi dan politik di negara itu.
Bagaimana hasilnya, hal itu akan sangat tergantung pada kesediaan seluruh pihak untuk berdialog yang menghargai kesetaraan dan inklusif, serta lebih melihat masa depan Mesir ketimbang masa lalu.
Pemerintahan sipil yang inklusif dan demokratis adalah pilihan yang diserukan banyak pihak dari dalam maupun dari pihak luar Mesir. Hal ini mempunyai konsekuen bahwa kelompok pendukung Morsi haruslah berada di dalam, dan bukan di luar. Mereka semestinya terlibat aktif dalam proses ini.
Semoga Mesir, yang bagi Indonesia adalah negara yang pertama menyatakan mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, menemukan jalan demokrasi dan damai.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...