Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 14:59 WIB | Jumat, 19 Juni 2015

Mesir: Rekonsiliasi Ikhwan dan Pemerintah Satu-satunya Solusi

Nageh Ibrahim (Foto: dari halaman Facebook)

KAIRO, SATUHARAPAN.COM – Pendiri dan mantan pemuka kelompok Islam ultra-konservatif Mesir,  Al-Gamaa Al-Islamiyah, Nageh Ibrahim, percaya bahwa "rekonsiliasi" adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi krisis di Mesir sekarang. Demikian dikatakan media Mesir, Al Ahram.

"Polarisasi merugikan negara," kata Ibrahim. "Tidak mungkin bahwa satu kelompok politik berada di penjara, sementara yang lain, musuh mereka, berkuasa ... Siklus ini harus dihentikan," kata dia.

Sejak Juli 2013, Presiden Mohammed Morsi dari Ikhwanul Muslimin, digulingkan, dan  pemerintah Mesir melarang organisasi Islam tersebut. Selain itu, ribuan pemimpin dan anggotanya dihukum, termasuk ratusan yang divonis mati atau penjara seumur hidup. Pembalasan, serangan oleh militan terhadap polisi dan pasukan militer telah meningkat sejak itu, terutama di Sinai Utara.

Ibrahim percaya adalah kebutuhan untuk rekonsiliasi bagi Ikhwanul Muslimin dan pemerintah Mesir, katanya berdasarkan "pengalaman bersejarah yang dialami Al-Gamaa Al-Islamiyah dengan (Presiden terguling, Hosni) Mubarak", katanya.

Al-Gamaa Al-Islamiyah melakukan beberapa serangan terhadap pemerintah Mesir pada  era 1970-an. Serangan yang paling signifikan adalah membunuh mantan presiden Anwar Sadat pada tahun 1981, menyusul perjanjian Camp David yang telah ditandatangani dengan Israel.

Ibrahim menyebut apa yang disebut sebagai "rekonsiliasi terbesar" dalam sejarah gerakan Islam dengan Mubarak adalah "Kami menghentikan  kekerasan dan, sebagai imbalannya, negara tidak memiliki pembenaran untuk kontra-kekerasan," katanya menjelaskan.

Mengulang Pengalaman

Menurut Ibrahim, akan ada hambatan, termasuk siklus kekerasan dan balas dendam di mana Ikhwanul Muslimin dan polisi, serta tentara Mesir telah terlibat sejak penggulingan Morsi, katanya. Sebagai  diberitakan media Mesir, yang sebagian besar warga berdiri melawan Ikhwanul Muslimin, dan saingan politik kelompok Islam, yang dilemahkan oleh Ikhwanul Muslimin yang menguat, kemungkinan tidak mendukung inisiatif itu.

Yang paling penting, diperlukan pahlawan untuk mengambil "keputusan yang berani" untuk bekerja demi rekonsiliasi, karena "kita tidak memiliki budaya rekonsiliasi di Mesir", katanya.

Ibrahim berbicara hal itu setelah anggota Ikhwanul Muslimin internasional, termasuk Youssef Nada, kepala biro urusan luar negeri , dan Rached Al-Ghannuchi, kepala partai Islam Al-Nahda di Tunisia, baru-baru ini mengambil inisiatif menuju rekonsiliasi antara negara dan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

"Saya siap untuk bertemu siapa pun yang menginginkan hal baik untuk Mesir dan rakyatnya," kata Nada kepada kantor berita Turki, Anadolu.

"Komitmen kami adalah untuk melindungi Anda dan keturunan Anda, dan orang-orang Mesir," katanya, menyikapi pembentukan militer "anak ​​tentara Mesir yang jujur".  "Saya tidak mengatakan bahwa tentara tidak memiliki patriotisme atau rusak, tapi hal itu jelas pada beberapa kepemimpinannya," kata dia.

Ketika berbicara kepada Al Ahram, Ibrahim tidak menganggap pesan Nada itu untuk rekonsiliasi, dan meragukan bahwa Ikhwanul Muslimin memiliki kemauan nyata untuk rekonsiliasi.

Tapi, kata dia, sebagai tokoh terkemuka, Nada mampu meyakinkan Ikhwanul Muslimin untuk mendukung rekonsiliasi, bersama para pengambil keputusan dalam kelompok itu, seperti Ibrahim Mounir yang sekarang di London, dan Khairat El Shater yang berada di penjara.

Sementara itu, pendukung Ikhwanul Muslimin terpecah, katanya. Beberapa menyerukan perdamaian, dan yang lain menuntut kekerasan. Kelompok-kelompok bersenjata seperti Kataeb Helwan, Ajnad Misr dan Al-Eqab Al-Tsauri telah mengklaim sejumlah serangan yang menargetkan infrastruktur seperti  listrik dan kereta api.

"Kekerasan menimbulkan kekerasan," kata Ibrahim. Dia khawatir bahwa perpecahan antara negara dan Islam dapat memburuk jika lebih banyak pendukung Ikhwanul Muslimin yang bergabung dengan kelompok ekstrimis.

Jika Ikhwanul Muslimin kembali ke ranah politik, kelompok itu akan mengambil sikap balas dendam dan "mengulang terjadinya bencana", katanya.

Keputusan untuk rekonsiliasi harus datang dari luar, dan dengan "taktik yang berbeda" untuk inisiatif saat ini, katanya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home