Michiel Karatem, Tapol Tragedi 1965 Pencipta Lagu PKJ
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM – Tidak banyak yang mengetahui bahwa sejumlah syair dan lagu dalam buku nyanyian rohani Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ) terinsipirasi dari kisah kehidupan nyata mantan tahanan politik di tahun 1965. Seorang Pegawai Negeri Sipil di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dipaksa rela menghentikan karirnya lantaran dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dia adalah Michiel Karatem. Seorang ayah dari tiga orang anak yang kini telah menginjak usia 83 tahun.
Meski tak lagi mengingat waktu setiap peristiwa secara detail, saat ditemui di kediamannya, Kota Tangerang, Provinsi Banten, hari Sabtu (30/4), Michiel terlihat antusias menceritakan berbagai hal yang dialaminya, dari sebelum hingga sesudah menjadi tahanan politik lantaran dituduh anggota PKI.
Berbagai kisah yang pernah terjadi itu pun disyukuri Michiel dengan mengucapkan satu kalimat, “Tuhan itu luar biasa.”
Bagaimana tidak luar biasa? Selama lebih dari 10 tahun menjadi tahanan politik, Michiel mengaku tidak pernah mendapatkan kekerasan fisik dan disiksa.
“Waktu turun dari mobil menuju kamp penjara di Pulau Buru, kami berjalan jongkok dengan posisi tangan memegang leher, lalu tentara itu berjalan di atas punggung para tahanan. Tapi begitu mau sampai ke saya, tentara itu turun. Bahkan, selama jadi tahanan, tidak pernah ada kekerasan tangan yang diberikan kepada saya,” kata Michiel.
Berikut kisah Michiel Karatem sebelum hingga sesudah menjadi tahanan politik di Pulau Buru, sabagaimana diceritakannya pada satuharapan.com.
Saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Saya berada di bidang musik dan kami diberikan izin untuk mencari bahan di luar departemen. Saat itu, dengan alasan kemudahan akses, saya mencari bahan di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Kalau sedikit mundur ke belakang, waktu di Kota Ambon dulu saya mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1, saya pernah dipanggil Gubernur Maluku, Johannes Latuharhary, untuk menjadi dirigen, memimpin lagu Indonesia Raya dan lagu nasional lainnya di hadapan Presiden Soekarno.
Itu menjadi awal perkenalan saya dengan Presiden Soekarno. Selanjutnya, saat Presiden Soekarno berkunjung ke Kota Ambon, saya selalu diminta menjadi dirigen dalam berbagai perayaan upacara.
Keahlian saya memang di lagu etnis dan rakyat. Itu terbawa sampai ke Jakarta. Ketika ada acara perayaan nasional yang besar butuh 10.000 penyanyi, seperti acara Sumpah Pemuda, pasti saya yang menjadi dirigennya.
Tragedi 1965
Kalau terkait Tragedi 1965, saya tidak tahu apa-apa. Saya pernah dibawa ke penjara di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, tapi setelah beberapa hari saya dipulangkan. Kemudian, beberapa hari berselang, saya ditangkap lagi, untuk dibawa ke Pulau Buru.
Padahal proses penyelidikan saya belum selesai saat itu dan anehnya yang menyelidiki saya saat itu adalah aparat keamanan yang bertugas menjaga saya saat menjadi dirigen di peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat memeriksa saya, dia mengatakan, saya terpaksa Pak Karatem, saya menjalankan tugas.
Tapi proses penyelidikan tidak selesai dan saya pun dibawa ke Pulau Buru dengan status sebagai anggota musik Lekra.
Sejak saat itu, saya tidak lagi menerima gaji sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Di Pulau Buru
Sampai di Pulau Buru, kalau tidak salah, saya ditempatkan di Blok S.
Ada cerita unik saat kapal yang saya tumpangi mau merapat ke Pulau Buru. Saya melihat bahwa dua pengawas yang merupakan anggota Corps Polisi Militer (CPM) adalah mantan murid saya di Kota Ambon dulu dan satu lagi keponakan saya. Mereka menangis minta ampun melihat saya.
Bahkan, ternyata, komandan kamp di sana itu ternyata keponakan saya.
Tapi saat dibawa ke kamp, saya katakan sama mereka, laksanakan tugas kalian dengan baik, jangan karena saya paman atau kakak anda, kalian jadi tidak melaksanakan tugas.
Saat menjadi tahanan politik, saya belajar bertani dan berbagai istilah pertanian di Pulau Jawa.
Saya juga masih aktif mengikuti sejumlah paduan suara. Saat di Pulau Buru, saya juga sempat mencuri ilmu dari Subronto Kusumo Atmadjo (tahanan politik Tragedi 1965/pencipta lagu ‘Nasakom Bersatu). Karena, Subronto itu lulusan dari Jerman dengan status cum laude dari Sekolah Musik Hanns Eisler.
Saat di Pulau Buru pun saya aktif beribadah, setiap hari minggu ada kebaktian besar di kamp. Biasanya ibadah dipimpin pendeta dari Ambon yang merupakan Anggota Pusat Perawatan Rohani (Pusroh) Angkatan Darat.
Waktu di penjara, saya juga sempat membuat sekitar 10 lagu, dengan modal pensil dan kertas yang saya minta kepada sipir. Tapi waktu dikirim ada yang mengambil dan rusak. Sehingga pas keluar dari Pulau Buru saya lupakan
Kalau lagu yang saya ciptakan di PKJ memang ada nuansa saat menjadi tahanan politik. Kalau saya buat lagu untuk Tuhan Yesus saat itu, lebih mudah merasakannya, karena sudah mengalami. Saat menjadi tahanan politik, Tuhan benar-benar menunjukkan jalan kebenaran dan Tuhan itu berbuat adil.
Bebas Tahanan Politik
Setelah bebas dan dipulangkan dari Pulau Buru, sekitar lebih dari 10 tahun, saya kembali tinggal di Rawamangun.
Setelah tiga hari berada di rumah, tiba-tiba ada yang datang, ternyata murid saya saat dulu mengajar musik di Ambon yang sudah menjadi Wakil Kepala Sekolah di SMA Santo Paulus, Jakarta. Dia mengajak saya untuk bekerja sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di tempatnya.
Saya pun setuju dan keesokan harinya langsung masuk.
Tapi, lima hari setelah saya kerja jadi guru di SMA Santo Paulus, teman baik saya dulu di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan datang dan menawarkan untuk menjadi guru di SMA Negeri 1 Jakarta atau SMA Negeri 8 Jakarta.
Dia pun berjanji, bila saya menerima tawaran itu, nama saya akan direhabilitasi dan pangkat saya sebelum menjadi tahanan politik dikembalikan.
Tapi saya menolak, saya katakan saya sudah bekerja di SMA Santo Paulus. Saya adalah tipe orang yang yang tidak mau ingkar janji, berapa pun ditawar. Itu prinsip saya, janji pada orang akan saya lakukan.
Terkait rehabilitasi, status saya belum jelas. Tapi KTP saya seumur hidup dan tidak ada tanda bahwa saya mantan tahanan politik tahun 1965.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Kemensos Dirikan 18 Sekolah Darurat Pasca Erupsi Lewotobi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sedikitnya 18 sekolah darurat didirikan oleh Kementerian Sosial (Kemensos...