Migrant Care: Aturan Perlindungan TKI Salah Paradigma
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Revisi Undang-Undang No 39/2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) telah ditetapkan masuk dalam Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional (RUU Prolegnas) Prioritas 2015, dengan alasan pembahasannya belum tuntas pada periode lalu.
Menanggapi hal tersebut, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang TKI, Migrant Care mengaku senang RUU tentang Perlindungan TKI tersebut tidak selesai.
"Saya senang revisi kemarin tidak selesai," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam diskusi di Ruang Wartawan DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/3).
Menurut dia, paradigma yang digunakan dalam UU tentang Perlindungan TKI yang ada saat ini sudah salah. Karena, kata Anis, tidak berfokus pada perlindungan hak TKI, melainkan memandang penempatan TKI sebagai sebuah lahan bisnis.
"Yang perlu dimasukkan itu adalah memastikan bagaimana prosesnya penempatan TKI itu terlindungi semuanya. Bagaimana sebelum berangkat, saat di penempatan, atau setelah kembali dari penempatan, seluruh haknya dijamin dan dilindungi," ujar dia.
Dia menyarankan agar Indonesia segera mengadopsi ratifikasi yang telah disepakati dunia internasional. Sebagai contoh adalah ratifikasi International Labor Organizarion (ILO) 189 tentang pekerja rumah tangga. "Aturan itu sebenarnya sudah secara komprehensif mengatur. Kita tinggal merevisi UU Perlindungan TKI sesuai dengan ratifikasi itu," tutur Anis
Terlalu Banyak Lembaga
Direktur Eksekutif Migrant Care itu juga menjelaskan panjangnya prosedur ditambah jumlah lembaga terkait TKI yang terlalu banyak membuat biaya penempatan TKI menjadi tinggi. Menurut dia, hal tersebut menjadi salah satu penyebab banyak TKI dan penyalur jasa menggunakan cara ilegal.
"Siapa yang bertanggung jawab, ada 18 lembaga yang mengurusi TKI," ujar dia.
“Urusan dokumen identitas pribadi melibatkan Kementerian Dalam Negeri, urusan transportasi melibatkan Kementerian Perhubungan, urusan dokumen perjalanan melibatkan imigrasi dan Kementerian Luar Negeri, penempatan melibatkan BNP2TKI,” Anis menambahkan.
Selain itu, dia juga menyangkan semakin banyak lembaga negara lain yang dilibatkan bila penempatan sudah menyentuh sektor spesifik, seperti keterlibatan Kementerian Kelautan dan Perikanan jika terkait Anak Buah Kapal dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak jika sudah menyangkut tenaga kerja wanita.
"Prosesnya itu terlalu banyak prosesnya jadi zig zag," kata dia.
Menurut Anis, bila melihat hal tersebut perlu dilakukan reformasi birokrasi dan perubahan perangkat aturan agar permasalahan TKI tidak berlarut-larut. Karena, saat ini tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab atas nasib TKI. "Kalau kita mau lihat negara lain, tidak ada yang mengurus sebanyak kita. Filipina saja cuma satu," ujar dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...