Muhammad Bakir, Pendekar Sastra Betawi Abad 19
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dalam pembahasan Cerita Panji dalam Sastra Pecenongan yang berlangsung pada Jumat (19/7), Drs. Syahrial, M.Hum, seorang peneliti naskah nusantara mengatakan bahwa gaya bahasa dan penulisan yang digunakan Muhammad Bakir memiliki mutu tinggi. Itulah salah satu alasan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) mengangkat sosok Muhammad Bakir dalam Pameran Naskah Pecenongan karena Muhammad Bakir salah satu sastrawan paling produktif pada akhir abad ke-19.
“Seorang peneliti Belanda, Koster dalam bukunya yang ditulisnya tahun 1997 mengakui bahwa teks-teks yang ditulis Bakir memiliki mutu yang tinggi. Perlu diberi penghargaan yang tinggi karena kewajaran ekspresinya, ketepatan dalam perumpamaannya, dan kesederhanannya.” jelas Syahrial.
Pada diskusi yang berlangsung di Gedung Cipta III, Taman Ismail Marzuki tersebut Syahrial mengatakan bahwa metode penulisan yang digunakan Bakir adalah dari aksara arab dan teks-teks karangan Muhammad Bakir yang dikenal pembacanya di daerah Pecenongan, Jakarta, pada akhir abad ke-19 sebagian besar menekankan unsur pendidikan dan ekonomi.
“Bakir menekankan unsur pendidikan dan ekonomi dalam hampir 56 karyanya. Penjelasannya, faktor ekonomi, penting bagi Bakir dan keluarganya karena saat itu sebagai salah satu bentuk pencarian nafkah, yakni sebagai salah satu cara untuk mencari nafkah, Bakir menyewakan naskah Panji Ken Tambuhan dengan harga sewa 10 sen per hari. Bakir juga menekankan unsur pendidikan karena adanya panggilan dari dalam dirinya untuk memperbaiki moral dan sosial masyarakat,” tambah Syahrial.
Dalam naskah ilmiah yang dirilis oleh Syahrial, ia menjelaskan bahwa keunggulan naskah-naskah yang ditulis oleh Bakir adalah Syair Ken Tambuhan menarik karena memiliki alur yang sederhana namun menarik.
“Cerita Panji Kuda Sumirang menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, ia tidak perlu menggunakan hal-hal yang berat agar semua orang dapat memahami ajaran-ajaran moral yang baik.” kata peneliti yang saat ini masih menjalani studi S3 Sastra Lisan di Universitas Indonesia.
Pada jaman kehidupan Bakir, tidak perlu menggunakan pilihan kata-kata yang politis karena semasa hidupnya di tahun 1890-an, apabila menggunakan pilihan kata yang bernuansa politis kemungkinan besar akan ditangkap Belanda.
“Bakir hanya menuliskan cerita-cerita atau hikayat yang bernuansa etika, dan moral,” menurut Syahrial.
Proses penyalinan atau penulisan teks menggunakan aksara arab gundul, dan mudah dipahami masyarakat Pecenongan pada abad ke-19. “Bakir menuliskan cerita-ceritanya dengan aksara arab gundul sehingga mudah dipahami masyarakat Pecenongan, Jakarta pada abad ke-19,” ujar Syahrial.
Editor : Yan Chrisna
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...