MUI Jabar: Jangan Permasalahkan Perbedaan Waktu Lebaran
BANDUNG, SATUHARAPAN.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat menyatakan jika Perayaan Idul Fitri 1436 Hijirah/Lebaran 2015 berbeda maka umat muslim diimbau untuk jangan mempermasalahkan perbedaan tersebut.
"Jadi perbedaan penentuan hari raya dianggap wajar terjadi akibat perbedaan metodologi perhitungan," kata Sekretaris MUI Provinsi Jawa Barat Rafani Achyar, di Kota Bandung, hari Rabu (7/7).
Rafani mengatakan, setiap umat muslim mesti mengedepankan persamaan dibandingkan perbedaan sehingga dengan cara ini maka keutuhan akan semakin terjaga dengan baik.
Selain itu, kata Rafani umat juga diimbau untuk toleransi dan saling menghormati dalam menghadapi sebuah perbedaan karena hal ini sejalan dengan fatwa MUI dimana umat mesti mengutamakan toleransi.
"Dan saya perkirakan penentuan hari Idul Fitri akan banyak yang sama, mungkin hanya sedikit yang berbeda. Kita tunggu saja sidang isbat," kata dia.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengatakan jika nantinya ada perbedaan waktu lebaran maka hal tersebut tidak perlu diperdebatkan.
"Karena penanggalan Masehi membuat penentuan hari raya kerap berbeda. Namun hal ini dinilai adalah persoalan keyakinan dan tidak perlu diperdebatkan. Hitungan masehi jadi ada perbedaan. Tapi itu terserah keyakinan masing-masing saja," katanya.
Pihaknya akan mengikuti penetapan yang dilakukan pemerintah lewat metode penglihatan hilal yang akan dilakukan pada 16 Juli 2015 mendatang untuk menetapkan kapan jatuhnya 1 Syawal atau Idul Fitri 1436 Hijriah.
"Yang penting semua sepakat di seluruh dunia bahwa idul fitri itu 1 Syawal. Sehingga semua sepakat bahwa Idul Fitri itu 1 Syawal. Dan itu enggak akan ada perbedaan," kata dia.
Lapan: Posisi Bulan 16 Juli Mustahil Dirukyat
Sementara itu, Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin menyatakan posisi bulan pada 16 Juli 2015 mustahil bisa dirukyat.
"Pada 16 Juli tinggi bulan di wilayah Indonesia secara umum kurang dari tiga derajat, secara astronomi itu mustahil bisa dirukyat," kata Thomas Djamaludin di Bandung, Jabar, hari Rabu.
Menurut Thomas dengan posisi itu maka sulit untuk bisa melihat hilal pada hari itu. Terlebih bila pengamatan juga terkendala oleh awan.
"Mungkin kendala awan bisa minimal karena pada musim kemarau, tapi dengan posisi bulan itu secara astronomi tidak mungkin dirukyat," kata dia.
Dengan demikian, kata Thomas kemungkinan penetapan 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri tahun ini berbeda sangat besar. Di satu sisi ada ormas Islam yang telah menetapkan kalender 1 Syawal pada 17 Juli.
Namun, bagi yang berpatokan pada hilal atau hasil rukyat, menurut Thomas kemungkinan besar menetapkan 1 Syawal pada 18 Juli. Namun demikian, diharapkan bila ada perbedaan tersebut tidak menjadi permasalahan karena masing-masing menetapkan memiliki alasan hukum yang kuat.
Lebih lanjut Thomas mengatakan Lapan akan mengamati hilal di Pekalongan dan berkoordinasi dengan jaringan pengamat hilal nasional bersama ITB, BMKG, Kominfo dan instansi lainnya.
Pada kesempatan itu berharap semua ormas Islam tetap punya visi mewujudkan kalender tunggal yang mapan, termasuk dalam penetapan 1 Syawal.
"Dengan tetap punya visi mewujudkan kalender Islam yang mapan, bisa memberi kepastian waktu ibadah dan kegiatan sosial jangka panjang," kata dia.
Menurut Thomas, upaya-upaya itu harus dilakukan intensif sambil terus mengupayakan penyatuan kriteria. Langkah jangka pendek yang bisa dilakukan salah satunya menjadikan pemerintah sebagai otoritas tunggal.
Lebih lanjut dia menyebutkan dengan otoritas ada di pemerintah kalender Islam nasional bisa dikembangkan ke tingkat regional ASEAN, dan selanjutnya ke tingkat global. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Ikuti berita kami di Facebook
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...