Mukhtar Pakpahan: Kemungkinan Peninjauan Kembali Sangat Kecil
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dewasa ini di Indonesia, seorang terpidana tidak memiliki kesempatan peninjauan kembali (PK) meskipun setelahnya ditemukan bukti baru, karena sudah pernah digunakan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Demikian dikatakan oleh Mukhtar Pakpahan pada sidang lanjutan ke-6 kasus Antasari Azhar, yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (20/6) kemarin.
Dalam sidang ini diajukan gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No.3 th.2009 tentang perubahan kedua atas UU. No.14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 27 dan pasal 28.
“Saya melihat pada jaman saat ini, bahwa saat pengajuan kembali ada beberapa terpidana yang ingin mengajukan Peninjauan Kembali (PK), tetapi karena ia sebelumnya sudah pernah mengajukan PK tertutup peluang PK buat dia, Mestinya demi fakta pasal 1 dan pasal 28 UUD 1945. Karena saat ada bukti baru, maka orang tersebut dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali,” ujar Muchtar.
Sementara itu, saksi ahli sekaligus ahli hukum pidana, Jamin Ginting mengatakan bahwa ada empat novum yang ada di dunia peradilan saat ini, menurut analisanya. “Ada empat jenis novum yang ada di tengah-tengah masyarakat, novum yang jenis pertama yakni novum yang mengarah ke arah kebebasan bagi terpidana. Novum yang kedua, novum yang membuat terdakwa lepas dari tuntutan hukum,” ujar Jamin kepada Jaksa.
Jamin menambahkan novum lainnya merupakan novum yang terjadi karena ketidaksepakatan putusan Jaksa Penuntut Umum yang tidak dapat diterima Majelis Hakim.
“Novum yang ke-3 yakni bukti baru yang mengarah kepada putusan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima, karena ada perbedaan penuntutan dari Jaksa Penuntut Umum & Hakim,” tambahnya. “Novum yang terakhir adalah novum yang mengarah kepada putusan hukum yang lebih ringan,” imbuh Jamin.
Pada persidangan ini hadir pula istri Antasari Azhar, Ida Laksmiwati besama Boyamin Saiman dan tim kuasa hukum; Arif Sahudi, Kurniawan Adi Nugroho, Wahid Agus, Utomo Kurniawan. Sebagai saksi fakta adalah Muchtar Pakpahan, dan ahli hukum pidana Jamin Ginting.
Sementara itu dari pihak Kejaksaan Agung hadir Agus Tri Handoko, dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ada Raditya Aji, Budianingsih, Titi Muslihah, Eka Putri.
Pada bagian akhir persidangan, Boyamin mengatakan bahwa pihaknya akan menghadirkan saksi-saksi fakta lainnya yakni Susno Duadji dan Cyrus Sinaga.
Pada persidangan sebelumnya, agendanya adalah mendengarkan keterangan dari Romli Artasasmita (pakar hukum pidana) dan Agung Harsoyo (pakar Teknologi Informasi), sehingga memperkuat kesaksian dari saksi-saksi ahli lainnya yang pernah berkaitan dengan Hukum Pidana yakni Irman putra Siddin, Chudri Sitompul, Yusril Ihza Mahendra, dan Sri Bintang Pamungkas yang pernah memohon Pengajuan Kembali dan berhasil walau dalam waktu yang lama.
Sementara pada dua persidangan sebelumnya, dari pihak pemerintah, Ahmad Yani dari Komisi III DPR-RI mengatakan bahwa keputusan akhir berada di Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan Yani, Direktur Penelitian Pengembangan Kemenkumham Mualimin Abdi yang kebetulan membacakan pandangan pemerintah terhadap gugatan Antasari Azhar, Andi Syamsuddin dan I Made Sudana ini mengatakan bahwa Pengajuan Kembali tidak dapat dilakukan berkali-kali, karena akan mengakibatkan ketidakpastian hukum di Indonesia.
Editor : Wiwin Wirwidya Hendra
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...