Mulailah Budaya “Bersih” di Pemerintahan
SATUHARAPAN.COM – Ada hal-hal yang baru dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Secara kasat mata rakyat menyaksikan ketika Presiden menyapa rakyat setelah mengucapkan sumpah, dan ketika memperkenalkan nama-nama yang menjabat menteri dalam kabinet yang diberinya nama “Kabinet Kerja”.
Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri tampil dengan baju putih, sebagian besar dengan lengan digulung, menandai siap kerja. Ketika para menteri mengucapkan sumpah / janji, mereka mengenakan baju batik (tidak seperti sebelumnya dengan jas hitam).
Perubahan ini bisa menjadi semacam kebiasaan yang mengarah kepada karakter pemerintahan Indonesia yang lebih melayani rakyat. Dan meninggalkan “budaya” pemerintahan sebelumnya dengan pejabat “penguasa” yang jauh dari rakyat, bahkan meminta dilayani.
Salah satu hal yang justru lebih substansial dan perlu diteruskan untuk menjadi bidaya dalam pemerintahan adalah budaya “bersih” bagi pejabat pemerintah. Dalam hal ini Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah memulai dengan meminta pertimbangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memastikan nama-nama dalam cabinet adalah orang-orang yang tidak mempunyai catatan dan indikasi terlibat dalam kejahatan, terutama korupsi.
Jokowi menyebutkan bahwa dia dan Jusuf Kalla telah dengan hati hati untuk memilih orang dengan kapasitas yang memadai, serta memiliki komitmen dan integritas yang baik. Proses seperti ini bisa terus disempurnakan, sehingga pejabat public tidak lagi ditolak karena etnis, agama dan keyakinan, atau asal golongan, melainkan diuji dengan kapasitas, kredibilitas dan integristas mereka.
Namun proses ini tampaknya belum cukup memadai, karena dari kalangan rakyat muncul pandangan negatif terhadap sejumlah nama. Respons seperti ini bisa dipahami, namun sebagai langkah awal sebuah perubahan penting dalam budaya pemerintahan kita, patut diapresiasi. Bahkan yang diperlukan sekarang adalah upaya dengan konsisten untuk terus menjalankannya.
Seleksi Pejabat Publik
Berkaitan dengan budaya “bersih” pejabat ini, maka perlu untuk diteruskan dengan menerapkannya pada setiap proses seleksi pejabat publik, bahkan pada semua tingkatan. Presiden tidak cukup hanya m,elakukan hal itu pada para menteri tetapi juga pejabat negara lain.
Presiden harus meneruskan proses ini ketika akan memilik Kapolri, Panglima TNI, Jaksa Agung, Hakim Agung, pimpinan badan negara seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan komisioner pada berbagai komisi, duta besar.
Nama-nama yang akan diajukan oleh Presiden seharusnya diklarifikasi oleh KPK dan PPATK untuk memastikan bahwa orang yang bersangkutan teridentifikasi “bersih”, dan tidak mempunyai catatan yang mengarah pada keterlibatan kejahatan dan pelanggaran konstitusi.
Hal itu bahkan juga harus dilakukan oleh para menteri. Para menteri wajib menggunakan proses ini untuk mengangkat orang untuk posisi Dirjen. Menteri urusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menerapkan proses ini dalam memilih orang yang akan menjadi direktur pada BUMN.
Proses ini akan menjadi budaya, jika kita, terutama pemerintah, melakukannya secara konsisten sehingga membentuk kebiasaan yang akan berwujud pada karakter pemerintahan dan bangsa. Jika apa yang sudah dimulai hanya sekali terjadi, maka justru yang dihasilkan adalah watak munafik, dan meningkatnya frustrasi.
Menjadi Gerakan
Perubahan untuk memilih pejabat yang mampu dan “bersih” yang telah dimulai akan membentuk budaya jika hal itu juga secara horizontal menjadi gerakan. Yang kita perlukan bukan hanya pada pemerintahan saja, tetapi juga pada entitas yang terkait, seperti partai politik. Sebab, pejabat publik dipilih melalui proses politik.
Partai politik harus juga menyambut proses ini dengan memilih pimpinan dan kader dari orang-orang yang memang mampu dan bersih, dan bisa menggunakan informasi dari lembaga yang terkait dan organisasi non pemerintah untuk memberi masukan. Dengan begitu partai politik menjadi organisasi kader dengan model penyaringan yang dipercaya.
Proses ini, misalnya, diberlakukan ketika memilih pengurus partai, memilih calon untuk proses pemilihan kepala daerah, memilih kadernya di lembaga legislatif untuk menduduku jabatan alat kelengkapan Dewan.
Hal baru yang terjadi di pemerintahan sekarang dan sambutan rakyat atas perubahan ini haruslah menjadi pertanda penting bagi partai politik, bahwa rakyat akan meninggalkan partai yang tidak melakukan perubahan budaya “bersih” ini.
Jadi, budaya memilih orang yang teruji mampu dan “bersih” untuk jabatan publik telah dimulai, dan tidak ada jalan untuk surut. Bangsa ini akan maju jika terus konsisten menjalankannya, bahkan melakukan hingga lintas generasi.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...