Musdah Mulia: Perlu Integrasi Dirjen Agama di Kemenag RI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejak diakui sebagai salah satu agama di Indonesia, Konghucu meminta direktorat jenderal (dirjen) agamanya di Kementerian Agama (Kemenag) RI, sama seperti lima agama sah lainnya, hal itu membuat Ketua Umum Indonesian Conference of Religion and Peace (ICRP), Siti Musdah Mulia merasa perlunya integrasi dirjen agama di Kemenag.
Gagasan tersebut disampaikan Musdah dalam seminar nasional yang diselenggarakan Setara Institute dan Sobat KBB dengan tema “Kepemimpinan Nasional Baru dan Pemajuan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” di Hotel Akmani, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/8).
“Saya melihat perlunya struktur Kemenag di tingkat dirjen tidak lagi dibagi berdasarkan agama, karena bisa repot. Misalnya sekarang begitu diakui sebagai salah satu agama di indonesia, agama Konghucu dengan sendirinya minta dirjen. Hal itu karena pembagian dirjen sekarang masih berdasarkan agama, Dirjen Islam, Dirjen Katolik, Hindu, dan lain sebagainya. Apabila tidak diberikan bisa-bisa kita dianggap diskriminasi,” kata Musdah.
Menurut dia, untuk ke depannya dirjen jangan lagi dibagi berdasarkan agama karena itu namanya pengkotak-kotakan, tetapi berdasarkan fungsinya yaitu relasi antar agama, memberikan pendidikan agama, serta pelayanan fasilitas rumah-rumah ibadah.
“Di sini perlunya reformasi aparatur negara, kalau tidak disatukan seperti itu, dirjen agama bisa kacau balau,” ujar wanita yang digadang-gadang menjadi Menteri Agama di pemerintahan Jokowi-JK itu.
Wanita yang juga menjabat sebagai Direktur Megawati Institute itu kemudian mengkritisi Kemenag RI. Pasalnya, setiap kali ditanyakan seberapa kesuksesan pembangunan bidang agama, yang ditunjukkan selalu jumlah sekian banyak rumah ibadah, sekian jumlah orang pergi haji, dan lain sebagainya.
“Pertanyaannya apakah sejumlah dana yang dikeluarkan untuk pembangunan bidang agama, sebanding dengan pembangunan spiritualitas bangsa? Ini semua perlu dibicarakan ulang.
Musdah menilai bahwa tim Jokowi-JK sudah membuat beberapa harapan untuk perubahan masa depan bidang agama. Namun tidak ada yang menjamin bahwa rencana tersebut pasti dilaksanakan. Dia mengimbau untuk ke depan, kalau ini tidak dikawal, isu pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan ini akan menguap.
Pertama yang perlu ditekankan, yaitu pentingnya membangun bidang agama yang berpijak pada kebhinekaan dan konstitusi di Indonesia. Jadi seluruh kebijakan pembangunan bidang agama tidak lagi dibahas berdasarkan ayat-ayat kitab suci, tapi berdasarkan konstitusi.
Hal ini penting menurut Musdah, mengingat sekarang ini muncul peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan konstitusi, misalnya ada perda di tingkat kabupaten atau provinsi yang landasannya adalah ayat kitab suci, karena itu beberapa perda isinya bertentangan dengan konstitusi.
“Dan korban dari isi perda semacam itu bukan hanya kelompok minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan, Baha’i, Parmalim. Bahkan kelompok mayoritas juga bisa menjadi korban isi perda itu, seperti di Tanjung Pinang, Riau ada perda yang berbunyi semua PNS wajib Salat Zuhur di Masjid Agung, dan Salat Asharnya di Masjid Jami. Sebagai PNS, kalau ada peraturan seperti itu, lama-lama orang melaksanakan salat bukan karena takut Tuhan, melainkan hanya ingin absen,” sesal Musdah.
Kemudian masalah lainnya, bagaimana kita menguraikan sila-sila pancasila, yaitu sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu apakah orang atheis punya hak di negara pancasila ini? Berdasarkan pernyataan Kemenag seperti dituturkan Musdah, orang atheis tidak bisa tinggal di negara ini.
“Ini perlu uji materi di Mahkamah Konstitusi. Negara harus punya tafsiran yang jelas tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Apakah hanya membatasi agama-agama yang diregistrasi, sedangkan agama yang tidak diregistrasi tidak bisa mendapatkan hak-hak sipil dan politiknya? Misalnya penganut kepercayaan tidak bisa menikah di KUA maupun di kantor catatan sipil, bahkan anak-anaknya tidak bisa mendapatkan akta kelahiran sampai pendidikan,” simpul Musdah.
Selain itu ada persoalan juga dia lihat di Bali, pengidap HIV/AIDS tidak ada tempat yang mau menerima untuk dimakamkan, itu sangat diskriminatif menurut pemahaman keagamaan, dan tidak manusiawi.
Kemudian soal pendidikan agama, negara harus menjamin anak yang ingin belajar agama lain selain enam agama tidak dilarang.
“Agama Islam pun harus juga memberikan pemahaman konstitusi, pancasila, jadi pemahaman Keislaman Indonesia itu berbeda dengan pemahaman Islam di Arab Saudi,” ujarnya.
Pada akhirnya, Musdah mengritisi apa yang disebutkan dalam ‘Nawa Cita’ (sembilan program prioritas Jokowi-JK), itu harus dijelaskan pula tafsiran, pelaksanaan dan solusi kebijakannya seperti apa.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...