Ini Kelebihan Menag Lukman Hakim Dibanding SDA
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa selama ini ternyata Surya Darma Ali (SDA) sebagai Menteri Agama RI bukanlah orang yang bisa membantu penyelesaian persoalan agama, justru SDA bagian dari masalah itu sendiri. Sedangkan Lukman Hakim Saifuddin saat baru menjabat langsung melakukan dialog dengan kelompok minoritas yang sebelumnya justru dianggap sesat oleh SDA.
Ada dua hal signifikan perbedaan antara SDA dengan Lukman Hakim, sebagaimana disampaikan pria yang kerap disapa Choky dalam Seminar Nasional “Kepemimpinan Nasional Baru dan Pemajuan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” yang diselenggarakan Setara Institute dan Sobat KBB di The Akmani Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/8).
“Pertama, SDA tidak pernah melakukan dialog dengan kelompok minoritas. Ketika menjabat menteri agama, SDA sama sekali tidak mau dialog dengan kelompok minoritas. Tetapi Pak Lukman Hakim baru saja menjabat sudah mau dialog dengan misalnya Ahmadiyah, Syiah yang sebelumnya oleh SDA dianggap sesat,” urai Choky.
“Kedua, salah satu pejabat negara yang pertama kali mengatakan ISIS bertentangan dengan pancasila adalah menteri agama. Itu kemudian menjadi pendorong bagi kelompok-kelompok lain untuk berdiri di barisan yang sama. Kalau menterinya masih SDA, saya tidak yakin akan bicara begitu,” kata dia menegaskan.
Kita semua tahu bahwa orang yang menduduki jabatan di atas, akan membawa pengaruh kepada aparat di bawahnya. Namun selama ini, terkadang pernyataan SDA yang kemudian justru mempertegas justifikasi kepada kelompok intoleran untuk terus melakukan aksi-aksinya.
Setara Institute percaya bahwa penyelesaian masalah kebebasan beragama harus dimotori oleh menteri agama. Misalnya sikap yang ditunjukkan Lukman Hakim saat melakukan dialog dengan stakeholder atau pemangku kepentingan di sejumlah tempat seperti kepolisian, atau tokoh-tokoh agama lainnya, selalu mengatakan bahwa kita membutuhkan konsultasi.
“Selama ini kritik kami untuk kementerian agama adalah gagal membuat jarak yang sama dengan agama-agama yang ada, bahkan ada kecenderungan Kemenag berpihak pada agama mayoritas, sementara yang jumlahnya kecil diabaikan,” simpul Choky.
Problem utamanya menurut dia adalah tidak ada pemisahan yang tegas antara agama dan politik, jadi setiap partai politik mencoba menggunakan agama sebagai alat untuk meraup dukungan bagi dirinya. Akibatnya jika terjadi masalah selalu bersifat ambigu, lantaran pemimpin hanya mendengarkan kelompok yang dianggap lebih kuat ketimbang minoritas. Padahal seharusnya menteri agama memberikan pelayanan yang sama untuk menjaga kemajemukan sekalipun itu minoritas.
Catatan Setara Institute: Siapa Menag Selanjutnya?
Kemudian ada pertanyaan penting selanjutnya, siapa nahkoda di Kementerian Agama (Kemenag) RI di kepemimpinan nasional baru nanti? Dalam catatan Setara Institute terhadap penyelesaian persoalan agama, ada dua tren positif.
Pertama, menurunnya pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sejak tahun 2013 menurun dari 264 menjadi 222. Tren positif kedua, yaitu bagaimana seluruh stakeholder setuju dan menolak fenomena radikal baru yang disebut ISIS, di mana hampir semua organisasi masyarakat (ormas) Islam berdiri sebaris, beserta ormas-ormas agama lainnya menyuarakan hal yang sama.
“Yang menarik adalah, hal ini tidak lepas dari inisiatif yang dilakukan negara melalui menteri agama. Pak Lukman Hakim Saifuddin yang pertama mengatakan ISIS itu fenomena yang bertentangan dengan pancasila,” tegas Choky.
Meskipun ada catatan buruk selama 10 tahun terakhir, tetapi kita perlu memberikan apresiasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena bagaimanapun juga, berhasil mempertahankan stabilitas keamanan. Meskipun buah dari stabilitas itu, hak-hak minoritas menjadi dikorbankan.
Saat ini yang sudah banyak dikritik oleh banyak pegiat hak Asasi Manusia (HAM), seperti Undang-Undang No.1 PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan atas Nama Agama, itu sudah saatnya dihapus karena sudah bertentangan dengan perkembangan zaman bahkan sudah banyak timbul korban, dari yang menyebarkan aliran sesat sampai dituduh menyebarkan aliran sesat, sehingga harus mengalami kriminalisasi. Tapi dulu waktu menteri agama SDA menyatakan itu harus dipertahankan, lantaran SDA mengklaim jika dihilangkan dapat menimbulkan keresahan dan disintegrasi bangsa.
“Undang-Undang atas nama agama yang sekarang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat perkembangan zaman, harus ada Undang-Undang baru yang bisa memberikan perlindungan terhadap hak dan kebebasan warga negara, karena selama ini tidak pernah direspon oleh pemerintah. Kalau tidak, maka Undang-Undang penodaan atas nama agama yang sekarang, akan terus dinilai positif meski sampai menimbulkan korban,” usulnya.
Perlunya Restrukturisasi di Kementerian Agama RI
Lebih jauh Choky menjelaskan bahwa perlunya sejumlah restrukturisasi dari pelayanan Kemenag. Pertama, sudah saatnya Kemenag tidak lagi hanya memberi pelayanan kepada enam agama.
Kedua, sudah saatnya agama penghayat tidak lagi di bawah Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, yang bahkan sampai saat ini selalu berpindah-pindah departemen untuk mengurusnya. Tetapi mereka harus diposisikan sama dengan enam agama sah, dan diberikan perlindungan dari kementerian agama.
Ketiga, sangat tidak adil jika Kemenag terutama dirjen pendidikan hanya melayani sekolah-sekolah agama, yang sebenarnya itu bukan porsi mereka. Maka serahkanlah urusan pendidikan agama pada Kementerian Pendidikan.
Selanjutnya Kemenag dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) diharapkan merancang sebuah draft Undang-Undang baru yang memberikan jaminan kebebasan beragama. Pasalnya Undang-Undang kerukunan antarumat beragama saat ini terkesan ada intervensi terlalu jauh dari negara kepada para pemeluk agama, dan cenderung lebih mengedepankan harmoni tapi ternyata mengabaikan hak-hak pemeluk agama terutama minoritas.
Editor : Bayu Probo
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...