Musdah Mulia: Tunisia Mengusung Islam yang Akomodatif terhadap HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Prof Siti Musdah Mulia mengapresiasi keberanian Tunisia mengusung Islam yang akomodatif terhadap kebebasan manusia.
Salah satu pasal dalam konstitusi baru Tunisia menjamin kebebasan beragama dan hati nurani, yang memungkinkan praktik ateisme dan praktik agama-agama non-Ibrahimi. Konstitusi ini juga melarang tindak kekerasan dan menyatakan seorang Muslim sebagai murtad karena pindah agama sehingga diancam dengan hukuman mati.
Musdah mengatakan pada satuharapan.com dalam wawancara Senin (3/1) bahwa keterbukaan atas kepercayaan apa pun adalah hal yang hakiki dalam Islam.
“Sebab, dalam Islam diajarkan, tidak ada paksaan dalam beragama. Mau beragama atau tidak beragama (ateis) adalah pilihan bebas manusia. Manusia hanya diingatkan bahwa ada akibat dari pilihan bebas itu. Pahala untuk yang sejalan dengan perintah Tuhan, sebaliknya ada siksaan untuk yang bertentangan,” ujarnya.
Namun kemudian Musdah menambahkan, pahala dan siksaan diberikan ketika di akhirat, bukan di dunia sehingga seseorang yang dianggap murtad atau ateis pun tidak boleh dihukum oleh sesama manusia selama mereka tidak melakukan kekerasan atau tindak kriminal.
“Kita tidak boleh mengadili keyakinan seseorang karena itu adalah hak yang paling asasi dalam hidup manusia,” kata Musdah tegas.
Tunisia Bukan Negara Islam
Musdah menganggap reformasi Tunisia yang berakhir dengan pilihan untuk tidak menjadi Negara Islam adalah langkah yang tepat. Seperti dalam bukunya, “Negara Islam”, Musdah mengatakan bahwa Islam yang diterapkan dalam negara adalah Islam yang tidak kritis dan tidak rasional.
Menurut Musdah, hukum rajam dan jilbab adalah interpretasi, bukan substansi dalam Islam.
“Yang esensial dalam Islam adalah menegakkan keadilan bagi semua manusia, tanpa pemaksaan dalam bentuk apapun,” tegasnya.
Tunisia untuk Keadilan Perempuan
Pasal 45 dalam konstitusi Tunisia menyatakan bahwa “Negara menjamin kesetaraan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam jabatan publik. Negara berupaya menjamin kesamaan jumlah laki-laki dan perempuan dalam badan-badan terpilih.”
Mengenai pasal tersebut, Musdah optimis bahwa negara dengan 98 persen penduduk Islam ini mampu mewujudkan keadilan bagi perempuan. Menurutnya, Tunisia memiliki sejumlah ulama progresif yang mendukung pengembangan Islam yang pluralis dan demokratis. Ia juga menilai bahwa Tunisia cukup akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal seperti dalam deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM).
“Tunisia adalah negara yang paling menjamin kesetaraan gender dan memenuhi hak-hak perempuan sebagai warga negara. Tunisia juga memiliki UU Keluarga (Perkawinan) yang progresif,” sambungnya.
Pekerjaan Rumah bagi Tunisia
Musdah menyampaikan bahwa Tunisia masih memiliki tugas yang harus diselesaikan. Ia mengatakan bahwa Tunisia harus berbenah serius untuk peningkatan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
“Ada dua syarat penting bagi bangunan negara demokrasi, yaitu kemajuan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat,” imbuhnya.
Dalam penutup wawancara, Musdah menyampaikan keprihatinannya atas jalan penuh konflik yang harus dilalui Tunisia untuk tiba pada tujuan negara demokratis.
Ia mengatakan, “Sejak awal, pemerintah dan masyarakat lebih terbuka untuk menjelasjan kepada semua pihak bahwa pilihan demokratis adalah sebuah keniscayaan di era globalisasi ini.”
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...