Musikalisasi Sastra 2015: Semesta Suara Yogya
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah tahun 2013 dan 2014, pada 18-19 November 2015 Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kembali menyelenggarakan Musikalisasi Sastra dengan tema Semesta Suara Yogya di Concert Hall-TBY. Selama dua hari menampilkan enam grup/komunitas musik membawakan garapan komposisi yang didasarkan pada karya sastra baik puisi, cerpen/nukilan cerpen, ataupun novel dari maestro sastra nasional maupun sastrawan Yogyakarta.
Sri Wahyuni Sulistiowati, S.Sn, ketua panitia Musikalisasi Sastra 2015 memberi penjelasan bahwa Musikalisasi Sastra merupakan kegiatan rutin (reguler) yang dilakukan oleh TBY melengkapi program lainnya seperti Pentas Seni Sepanjang Tahun, Festival Kethoprak, ataupun Eksperimentasi Seni.
Tema Semesta Suara Yogya adalah upaya mempertemukan beragam suara yang berkembang di Yogyakarta melalui ruang kreativitas seni yang sifatnya musikal. Dengan kegiatan musikalisasi diharapkan beragamnya 'suara' itu dapat dinikmati dan dihayati makna keindahannya secara bersama-sama.
Setelah hari pertama menampilkan mini orkestra dari SD Muhammadiyah Sapen, Komunitas Sekar Selo-Gunung Kidul, dan Fazan Musik Indonesia dari Sleman; pada hari kedua Kamis (19/11) malam menampilkan Komunitas Omah Teater Jogja (OMTEJO), Gang Sadewa, serta Komunitas Ajar Sastra Kulonprogo yang memainkan teatrikal lakon Nyi Ageng Serang dalam pertunjukan musik dan tari.
Omah Teater Jogja Bicara Tentang Jogja
Omah Teater Jogja atau lebih dikenal dengan OMTEJO merupakan forum komunitas teater di Kota Yogyakarta diantaranya Teater Eska, Sanggar Nuun, Sanggar 28 Terkam, Teater Bening, Sangkala, Teater Dokumen, JAB Gitasavava.
Pada Musikalisasi Sastra 2015 OMTEJO membawakan gabungan karya musik, paduan suara, dan teater mengiringi tiga puisi yang kesemuanya bercerita tentang Yogyakarta.
Dua puisi karya Ahamdun Yosi Herfanda dengan judul Nyanyian Kota Peradaban, dan Matahari Padam di Kota Yogya, yang menceritakan kegelisahan dan kesunyian jiwa di tengah hiruk-pikuk perkembangan kota yang terus berlari. Membaca Matahari Padam di Kota Yogya seolah kita sedang menyaksikan sebuah realitas sosial perkembangan Yogyakarta saat ini dan membacanya di masa lampau. Sebuah 'ramalan' atas pembangunan sebuah kota yang seolah meninggalkan penghuninya, berlari mengejar mimpi.
"... mungkin kau belum selesai menulis sajak tentang Tamansari, pelacur Stasiun Tugu, atau ciuman pertamamu di pinggir Taman Senopati ketika malam gerimis dan engkau cuma berdua menunggu bus kota. Tapi, mungkin saja, engkau takkan sempat menyelesaikannya, sebab kota akan segera berganti warna..."
Dalam puisi Yogyakarta: Kelahiran Kedua karya Indrian Koto adalah puisi yang memenangi Lomba Penulisan Puisi 2012 DIY. Kritik atas pembangunan kota yang justru meminggirkan kota itu sendiri: kemacetan, serbuan pasar modern, menjamurnya pembangunan hotel, perkembangan kaum urban, di sisi lain antrian panjang berebut raskin, perebutan sumberdaya alam-air oleh masyarakat bawah sebagai gambaran perebutan remah-remah ekonomi menjadi representasi realitas Yogyakarta secara umum saat ini.
Kelahiran Kedua adalah potret sebuah kegelisahan dari mereka yang mencintai kotanya melebihi modernitas yang sedang berlangsung. "... masa depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh/dari apa sebuah kota dibangun?rumah susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur/kota dikepung minimarket 24 jam/kedai malam impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu/di kota ini aku merasa dilahirkan kembali/berebut tempat dengan kecemasan..."
Gang Sadewa Dalam Sastra Sunyi
Kelompok musik yang dimotori oleh peniup seruling/flute Memet Chairul Slamet memainkan repertoar Gangsadewa dalam Sastra Sunyi. Komposisi lagu yang digarap Memet dengan memadukan alat musik modern dengan alat perkusi etnik-tradisional semisal bedhug, bonang, jimbe, kendang, rebana berpadu dengan gitar akustik, gitar elektrik, bass gitar, serta flute yang dimainkan Memet.
Komposisi lagu mengiringi tiga puisi yang dibacakan oleh Doni Suwung dan Ayu yakni Laut (Kuntowijoyo), Dongeng Sebelum Tidur (Goenawan Mohamad), serta Orang Tua dan Pemain Gitar (WS Rendra) dipadu gerak tari. Agus Aniam's, stage manager Gang Sadewa, menjelaskan bahwa seluruh komposisi lagu merupakan garapan baru, dengan tetap membawa warna etnik-kontemporer khas Gang Sadewa.
Gang Sadewa menyajikan pertunjukan panggung yang terencana dan tergarap dengan rapi. Musik etnik-kontemporer terasa dinamis selama mengiringi puisi balada. Sementara koreografi menjadi dramatisasi atas puisi yang dibaca. Sebuah karya musikalisasi sastra yang saling melengkapi.
Dalam repertoarnya, Gang Sadewa seolah ingin menawarkan keseimbangan sunyi dan bunyi sebagai dua hal yang saling berdampingan dalam hidup dan bisa sama-sama dinikmati, sebagaimana dikatakan Rendra dalam puisi Orang Tua dan Pemain Gitar:
"... Tidak tergelar di telapak tangan/tak ada yang kugenggam, tak ada yang kutahu./Bagiku: Lagu itu telah membunuh waktu/dengan cara yang menyenangkan."
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...