Loading...
SAINS
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 00:53 WIB | Rabu, 19 Februari 2020

Musikono #18: Ponyo on the cliff by Siluk River

Perhelatan Musikono #18 di bantaran Sungai Siluk Desa Selopamioro, Imogiri-Bantul, Minggu (15/2) sore. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebidang tanah kas Desa Selopamioro, Imogiri-Bantul di tepian sungai-jembatan Siluk bersebelahan dengan pemakaman desa menjadi ruang kedua komunitas Jembatan Edukasi Siluk (JES) melakukan aktivitas bagi anak-anak hingga orang tua untuk membuat kegiatan secara bergantian setiap hari Minggu. Dengan pendampingan dari berbagai pihak ada banyak perubahan terjadi di sekitar kolong jembatan tersebut.

Ruang kedua JES yang diberi nama Sekolah Sungai Siluk berjarak sekitar 300 meteran dari ruang pertama JES yang berada persis di bawah Jembatan Siluk. Ruang Sekolah Sungai Siluk baru dioperasikan dua bulan terakhir dengan pembangunan bertahap mulai dari pendirian pendopo yang berfungsi sebagai ruang belajar bersama serta kedai dengan konsep angkringan yang dikelola oleh anak-anak muda karang taruna Desa Selopamioro yang terlibat dalam aktivitas JES.

“Di tempat yang baru ini (sekolah dan kedai Sungai Siluk) relatif lebih aman bagi anak-anak untuk belajar bersama. Ruang pertama (di kolong Jembatan Siluk) hanya digunakan untuk area bermain. Area belajar menggambar dan berkesenian pertunjukan dilakukan di sini. Begitu juga dengan perpustakaannya.” jelas inisiator JES Kuat kepada satuharapan.com, Minggu (15/2) sore.

Minggu (15/2) siang Sekolah Sungai Siluk menjadi tempat perhelatan Musikono #18 oleh musisi Bagus Mazasupa. Ini menjadi perhelatan kedua Musikono di bantaran Sungai Siluk setelah pada Februari dua tahun silam menggelar Musikono #7 di Dukuh Butuh Desa Sirharjo, Imogiri-Bantul.

Musikono adalah sebuah pertunjukan musik keliling (concert tour) yang digagas oleh pianis Bagus Mazasupa dengan diselingi workshop tentang pengetahuan musik di sela-sela konser.

Sebelum Musikono #18 dimulai, pengajar musik Lucia Tri Sugiarti memberikan workshop olah vokal bagi anak-anak Desa Selopamioro.

Menyadari banyaknya anak-anak yang hadir, Bagus mengawali pementasan dengan sebuah repertoar dari original sound track film animasi Ponyo. Hal demikian selalu dilakukan Bagus untuk membangun komunikasi dengan audiens anak-anak dalam suasana yang riang.

“Musikono selalu membawa satu lagu pembuka. Karena banyak anak-anak maka saya bawakan lagu Ponyo.” ujar Bagus mengawali penampilannya.

Tiga repertoar berikutnya yang menjadi ciri khas Musikono adalah memainkan komposisi musik yang mewakili masing-masing jaman : barok, klasik, dan romantik.

Mewakili jaman barok Bagus memainkan komposisi Minuet in G dan Invention karya Johan Sebastian Bach. Komposisi Joseph Haydn dengan judul Sonata in G dipilih mewakili jaman klasik, sementara untuk jaman romantik dimainkan komposisi Mazurka in Bb dari Frederich Chopin.

“Komposisi jaman barok dicirikan dengan memainkan melodi dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri secara bergantian. Berbeda dengan jaman barok, Sonata in G karya Haydn musiknya tidak menceritakan apa-apa. Komposisi ini biasanya digunakan untuk mengukur sebuah ketrampilan memainkan piano.” jelas Bagus Mazasupa.

Musik klasik muncul setelah era barok (baroque) dan sebelum munculnya era romantik (romantic). Berbeda dengan barok, pianis memainkan musik klasik, tangan kiri digunakan untuk musik pengiring sementara tangan kanan untuk melodinya.

“Sonata itu terdiri tiga bagian. Kalau pada mengamati, saya tadi berhenti sebentar itu adalah pergantian bagian. Ada perbedaan kecepatan. Komposisi Sonata itu yang paling sulit di bagian ketiga.” papar Bagus kepada pengunjung.

Memberikan penjelasan pada awal dan akhir repertoar menjadi cara Bagus memperkenalkan komposisi musik pada setiap jamannya. Pada beberapa perhelatan Musikono sebelumnya Bagus kerap memperkenakan komposisi musik berdasar karakter maupun warna/genre komposisi seperti waltz, rumba, bossanova. Memainkan komposisi karya komponis yang berasal dari satu negara, atau memperkenalkan satu instrumen yang dimainkan kepada pengunjung dalam penyajian yang ringan, interaktif, dan tidak berjarak.

Pemilihan lokasi Musikono yang selalu dihelat di ruang-ruang desa menjadi tawaran lain yang cukup menarik ketika membawa komposisi dari masing-masing jaman yang bisa jadi cukup asing di telinga masyarakat desa.

“Masih ada kerancuan di masyarakat bahwa musik klasik (classic) itu yang mendayu-dayu. Padahal ciri tersebut justru muncul pada jaman romantik (romantic), jaman setelah klasik.” ujar Bagus sebelum memainkan Mazurka in Bb karya Chopin sebuah komposisi yang mewakili jaman romantik.

Pada repertoar terakhir Bagus memainkan komposisi karya Paul Mauriat berjudul Minuetto dengan tangga nada maupun keteraturan yang banyak dipengaruhi oleh musik jaman klasik.

Setelah empat repertoar mewakili tiga jaman yang berbeda, Musikono #18 dilanjutkan dengan penampilan kelompok musik Serat Djiwa. Beranggotakan Dian (biola), Fathur (tiup), Refli (Gitar), Mambley (Perkusi), Hitmen (akordeon/piano) Eki (drum), Candra (bass), Serat Djiwa dibentuk pada tahun 2015.

Serat Djiwa memaknai musik bukan hanya sebatas hiburan, tetapi juga merupakan media evolusi jiwa suatu individu untuk mencapai harmoni. Dari bingkai tersebut, Serat Djiwa dibentuk untuk mengemas persoalan kompleks namun dapat dinikmati secara sederhana dan memberikan kesan dan pesan yang dalam dan bagi siapapun yang mendengar dan menyaksikan.

Tiga karya instrumen dimainkan Serat Djiwa berjudul Jalan Sunyi, Nama-nama, dan Sanctuary berangkat dari realitas sehari-hari yang dijumpainya. Pada dua lagu berikutnya Ranjana dan Rumah Bersama, Serat Djiwa memainkannya berkolaborasi dengan Bagus Mazasupa.

Setelah jamming satu lagu mengajak satu pengunjung membawakan lagu yang dipilihnya, Musikono #18 ditutup dengan sebuah lagu Tanah Airku karya Ibu Sud yang dibawakan oleh anak-anak yang telah mengikiuti workshop olah vokal bersama Lucia Tri Sugiarti.

Sebuah closing yang menarik dengan mengajak anak-anak terlibat dalam sebuah aktivitas belajar dan berbagi panggung bersama sebagai ruang bermain, berekspresi, sekaligus ruang apresiasi.

Tidak penting apakah pengunjung mengerti dan memahami penjelasan yang diberikan atau tidak, di bawah rumpun bambu di tebing bantaran Sungai Siluk, musik punya bahasanya sendiri yang tidak berbatas (music without border).

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home