Musim Semi Arab: Revolusi dan Kegagalan Memerdekakan
SATUHARAPAN.COM – Dalam dua dekade pertama abad ke-21 kita menyaksikan ironi yang luar biasa. Abad ini, yang disebut abad modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, penduduk dunia masih mencatat situasi yang lebih buruk dari abad sebelumnya.
Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi (UNHCR / United Nation High Commission for Refugees) menyebutkan bahwa di seluruh dunia terdapat 70,8 juta manusia yang dipaksa meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi (data akhir tahun 2018). Separoh dari mereka adalah anak-anak (berusia di bawah 18 tahun).
Angka itu adalah yang tertinggi sejak Perang Dunia II, dan tampaknya terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, tahun 2017 tercatat 65,6 juta pengungsi, dan dalam setahun bertambah lebih dari lima juta jiwa.
Sementara berita tentang konflik, perang dan imigran terus mewarnai media massa. Para pengungsi ini sebagian besar datang dari kawasan konflik dan perang yang ada di Afrika Utara dan Timur Tengah, dengan tujuan negara-negara Eropa dan Amerika Utara.
Selain itu, di tengah-tengah perkembangan pesat teknologi di bidang pertanian, pengolahan pangan, dan transportasi, dari tujuh miliar lebih total penduduk dunia, masih ada 821 juta jiwa yang mengalami kelaparan. Produksi pangan dunia, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO / Food and Agriculture Organization), mencukupi untuk memberi makan seluruh penduduk dunia. Namun sekitar sepertiga produk makanan terbuang ke tempat sampah, sementara 821 juta jiwa kelaparan.
FAO juga mempersalahkan konflik dan perang yang menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya kelaparan dan kemiskinan di berbagai belahan dunia, terutama di Asia dan Afrika.
Revolusi di Negara-negara Arab
Dua masalah besar yang dihadapi dunia itu terkait dengan konflik dan perang yang sebagian besar terjadi di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah, terutama kekacauan yang timbul dari revolusi di negara-negara Arab yang dikenal sebagai Musim Semi Arab (Arab Spring). Data UNHCR misalnya menyebutkan bahwa pada akhir tahun 2010 di seluruh dunia terdapat 43,7 juta pengungsi. Akhir tahun itu adalah awal dari revolusi Musim Semi Arab, dan dalam sewindu, jumlah pengungsi meningkat drastis akibat berlarutnya revolusi Musim Semi Arab.
Sebagian negara yang dilanda revolusi itu masih mengadapi pertempuran bersenjata, seperti di Suriah, Yaman, dan Irak. Sedangkan Afganistan juga belum surut dari konflik bersenjata yang juga berdampak pada Pakistan, tetangganya.
Sementara itu, sebagian lagi negara-negara itu masih menghadapi konflik berkerasan yang dilaterbelakangi agama dan golongan, seperti di Libya, Sudan, Sudan Selatan, Mesir, Somaila, dan Nigeria. Tak pelak, masalah-masalah penegakan hukum, kemerosotan ekonomi, dan pengangguran merupakan masalah sosial yang belum bisa diselesaikan, karena situasi politik dan keamanan yang tidak stabil.
Revolusi ini sebenarnya merupakan respons keras warga negara atas buruknya kinerja pemerintahan. Diawali di Tunisia dengan demonstrasi besar-besaran selama hampir sebulan untuk menggulingkan pemerintahan otoriter, Zine El Abidine Ben Ali. Protes itu dipicu oleh aksi bakar diri Mohamed Bouaziz pada pertengahan Desember 2010.
Revolusis itu adalah ekspresi kejengkelan warga oleh pemerintahan yang otoriter, kemiskinan yang ekstrem dan pengangguran, pelanggaran hak asasi manusia, masalah sektarianisme, korupsi oleh pejabat pemerintahan, ketimpangan sosial dan kemerosotan ekonomi.
Protes di Tunisia itu memang kemudian menjalar ke negara-negara tetangga. Situasinya didukung oleh perkembangan teknologi informasi, khususnya internet dan media massa dan sosial dalam mobilisasi massa. Dan sejumlah pemerintahan di kaewasan itu telah digulingkan, bahkan dengan tragis.
Musim Semi atau Musim Gugur?
Revolusi musim semi merupakan perjuangan warga sipil untuk membangun demokrasi di negara mereka dengan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil. Mereka menghendaki ditegakkannya hukum dan hak asasi manusia, perbaikan ekonomi dan lapangan kerja. Beberapa negara telah mengakhiri rezim lama dan mulai membangun pemerintahan dengan demokrasi. Namun da juga yang masih terus menarik pelatuk senjata, seprti Suriah dan Libya yang masih terus terlibat perang saudara. Afganistan juga belum mampu mengajak Thaliban, bahkan terus memilih jalan menentang pemilihan umum.
Beberapa negara lain, secara formal membangun demokrasi dengan perubahan konstitusi, pemilihan umum yang lebih bebas. Namun beberapa negara lain perkembangan demokrasinya terseok-seok, karena masih terbenam dalam kubangan masalah sektarian yang dibawa oleh kelompok tertentu, terutama kelompok islamisme, seperti Negara Islam atau disebut juga ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria).
Masalah sektarian dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi batu sandungan dalam membangun demokrasi, dan menegakkan HAM. Sehingga agenda lain revolusi di bidang hukum, sosial dan ekonomi masih tetap berantakan.
Irak telah dua kali menyelenggarakan pemilu, namun masalah setarian dan politik identitas, masih sangat kental, bahkan korupsi di pemerintahan juga merajalela. Negeri ini bahkan diramalkan terpecah menjadi tiga: untuk etnis Kurdi, kelompok Islam Syiah dan Islam Sunni.
Mesir telah menyelenggarakan dua kali pemilu, tetapi Presiden Mohammed Moersi yang terpilih harus digulingkan, karena pemerintahannya justru membawa agenda sektarian. Demikian juga tetangganya, Libya, dan juga Yaman, yang masih berperang dengan saudaranya karena masalah-masalah sektarian dan politik identitas yang masih sangat kuat dalam pola pikir mereka.
Banyaknya korban dalam konflik bersenjata di kedua kawasan itu, telah membuat ironi dalam menyebut revolusi ini sebagai “musim semi”. Darah yang mengalir, dan penderitaan manusia yang harus mengungsi lebih condong pada gambaran “musim gugur.”
Belum Merdeka
Situasi di Afrika Utara dan Timur Tengah telah menjadi cerita pilu, bahkan mungkin paling memilukan, dalam awal abad ke-21 ini. Bahkan Revolusi Musim Semi Arab yang sudah hampir Sembilan tahun, belum memberikan buah di beberapa negara. Suriah, Yaman, dan Afganistan misalnya, terus gagal dalam upaya perdamaian. Sebabnya, konflik sektarian dan politik identitas yang kental di sana tidak pernah bisa memberi ruang dialog dan kerja sama.
Revolusi itu masih dalam perjalanan panjang, bahkan mungkin bisa berkembang memburuk. Beberapa negara, mungkin telah merdeka dari rezim lama, tetapi belum merdeka dari pemerintahan yang otoriter. Revolusi di beberapa negara menunjukkan mereka belum merdeka dari konflik sektarian. Mereka belum merdeka dari pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi, mereka belum merdeka dari politik identitas yang memanfaatkan perbedaan dan mengeksploitasi kebencian.
Politik identitas dan konflik sektarian, di kawasan itu pantas diwaspadai. Sebab, ini jenis politik yang murah dan murahan, yang tidak segan-segan memicu konflik dan memanfaatkan warga negara untuk kepentingan kelompok tertentu. Warga negara sangat mungkin hanya dianggap sebagai “useful idiot’’. Dan pada akhirnya, mereka ini juga akan membangun pemerintahan yang cenderung otoriter dan diskriminatif.
Dalam bulan ini, di mana kita memperingati 74 tahun kemerdekaan Indonesia, kita patut belajar dari pengalaman saudara-saudara kita yang dilanda angin Musim Semi Arab. Ini menjadi relevan mengingat politik identitas menunjukkan peningkatan di negeri kita. Demikian juga konflik sektarian masih terus dikipas-kipas, bahkan ada yang ingin mengimpor revolusi Musim Semi Arab itu ke negeri kita, dan dengan agenda sektarian yang terbukti jadi batu sandungan dalam mencapai hasil revolusi itu.
Tujuan kemerdekaan untuk membangun keadilan dan kesejahteraan bagi semua akan menjadi sulit dicapai ketika kita belum bisa merdeka dari dominasi politik identitas, konflik sektarian, dan pembiaran pelanggaran hak asasi manusia.***
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...