Soal Ibadah, Jangan Sembrono
SATUHARAPAN.COM - Penutupan tiga gereja di Kota Jambi merupakan kenyataan yang menyedihkan, terutama justru dilakukan oleh pemerintah. Lebih lagi, pemerintah bertindak lebih karena tekanan sekelompok warga, ketimbang kepentingan bangsa dengan menegakkan konstitusi.
Tiga gereja yang ditutup oleh pemerintah Kota Jambi pada Kamis (27/9) adalah Huria Kristen Indonesia (HKI), Gereja Methodist Indonesia (GMI), dan Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA).
Pemerintah setempat menutup gereja-gereja itu atas alasan gedung gereja belum ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Ini menjadi hal yang naif, karena didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang FKUB dan Pendirian Rumah Ibadah, yang dalam praktiknya menyulitkan warga negara penganut agama di luar yang mayoritas dalam membangun rumah ibadah.Lebih lagi, aturan yang tertinggi, konstitusi negara (UUD 1945, khususnya Pasal 28 I ayat 1) yang menetapkan kebebasan beragam sebagai Hak Azasi Manusia yang tidak dapat dikurangi oleh alasan apa pun (non derogable), juga diabaikan oleh alasan itu.
Pemerintah semestinya membuka mata, tentang fakta di balik gedung gereja itu belum memiliki IMB. Ada faktor di luar yang bukan sekadar jemaat itu melanggar aturan yang ada, bahkan, seperti pernyataan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) tidak ada niat untuk melakukan pelanggaran.
Dan menutup mata atas fakta-fakta lain di baliknya, sebenarnya telah melecehkan konstitusi, terutama pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam konteks ini, pola pikir pemerintah semestinya lebih pada menjalankan kewajiban dengan “memfasilitasi” warga untuk bisa membangun rumah ibadah dan beribadah, dan bukanya mempersoalkan IMB, tanpa melihat latar belakangnya.
Masalah ini membutuhkan kejernihan, terutama di kalangan pejabat pemerintah untuk berbicara dengan hati nurani yang jernih, ketimbang menekankan soal legalistik. Apalagi, di balik itu ada persoalan tekanan sekelompok warga, yang mencerminkan pelecehan tentang Negara Berdasarkan Hukum.
Melihat Realita Lebih Jernih
Soal beribadah dan pembangunan rumah ibadah di Indonesia terus-menerus menguras energi bangsa, dan sering muncul dalam agenda politik yang penting, seperti pemilihan umum saat ini. Masalah ini mencerminkan bahwa agama digunakan dalam kompetisi politik yang berpotensi mencemari kesucian agama.
Negara dan pemerintah harus melihat lebih dalam dan jauh tentang masalah ini. Sebab, ibadah memiliki tempat dalam proses membangun karakter warga negara, sebab jemaat adalah warga gereja dan sekaligus warga negara. Ibadah bagian dari proses membangun kehidupan yang bermoral, beretika, dan relasi yang sehat dengan sesama warga berdasarkan iman mereka.
Negara dan pemerintah harus tegas mendukung warga beribadah yang ikut membangun kualitas kehidupan warga negara, terutama dalam religiusitas. Sebaliknya, negara dan pemerintah harus tegas untuk menindak peribadahan yang justru merusak moral, etika dan relasi sosial antar warga. Namun sayangnya, yang terakhir lebih enggan untuk dilakukan.
Melihat dari sisi ini, menjadi jelas tentang alasan konstitusi menjamin kebebasan warga untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, selain bahwa hal itu adalah Hak Asasi Manusia yang tidak bisa dicabut oleh apa pun. Dengan kata lain, ada kepentingan negara untuk memastikan bahwa warga negara bisa dengan aman dan tenang beribadah. Sebab, itu bagian yang membentuk ketahanan bangsa.
Masalah ini terus terjadi dan berlarut-larut, bukan hanya di Jambi, tetapi juga daerah lain, karena kita enggan untuk melihat sejumlah realita yang sebenarnya yang ada di sekitar masalah pembangunan rumah ibadah. Kalau saja pemerintah mau menelisik lebih jauh, di mana sasaran penutupan rumah ibadah seperti di Jambi itu lebih tertuju pada agama tertentu, akan mendapatkan gambaran yang benar.
Pejabat pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara perlu lebih membuka hati nurani dalam melihat masalah ini, sehingga bisa mengambil sikap dan keputusan yang bijak. Dan patut dipertimbangkan, bahwa ada pertaruhan yang besar ketika masalah ini direspons secara sembrono, karena memakai kaca mata kuda.
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...