Muslimah Pakistan Hadirkan Pohon Natal Saat Idulfitri
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Muslimah Pakistan dan penulis buku Threading My Prayer Rug: One Woman’s Journey from Pakistani Muslim to American Muslim, Sabeeha Rehman, mengaku dia sempat mencemaskan perbedaan budaya saat tiba di Amerika Serikat.Namun lama kelamaan dia mulai terbiasa, walau melaksanakan tradisi yang bernuansa Kristiani di lingkungan keluarganya. Sebab dia yakin dengan melaksanakan tradisi tersebut tidak berpengaruh kepada keimanan anggota keluarganya.
Saat mengisahkan kembali dan diberitakan Wall Street Journal, hari Kamis (7/7), Rehman mengacu kepada kronologi hidup keluarganya pada 1973, saat itu Rehman dan keluarganya belum lama pindah dari Pakistan ke New York, Amerika Serikat.
Di saat mayoritas warga Amerika Serikat merayakan Natal, salah satu anaknya, Asim – yang saat itu masih berusia enam tahun – berharap ada pohon Natal di rumah.
“Kemudian saya berpikir, masa sih kami tidak boleh punya pohon Natal, kenapa saya takut iman anak saya goyah atau berpindah agama,” kata Rehman.
Rehman merefleksikan pertanyaan tersebut lebih mendalam atas permintaan anaknya kala itu dengan mengatakan dengan adanya pohon Natal identitas dia dan anak-anaknya tidak akan tergantikan. “Masa sih, anak-anak saya akan pindah agama hanya gara-gara pohon,” Rehman menambahkan.
Rehman menceritakan bahwa pertanyaan tersebut bukan datang hanya dari Asim, namun anak keduanya, Saqib, memiliki pertanyaan yang sama. “Bu, kenapa kita tidak boleh punya pohon Natal,” Rehman mengulangi pertanyaan anaknya puluhan tahun silam.
Pergumulan tersebut ternyata tidak hanya dialami Rehman. Pada tahun-tahun pertama menetap di Amerika Serikat dia bertemu sahabatnya sesama Muslimah Pakistan di Amerika Serikat – Rabia dan Kausar – mereka mengalami masalah yang sama dengan anak-anak mereka.
Rehman mengemukakan bahwa Rabia dan Kausar memiliki anak-anak yang mempertanyakan tradisi seputar Natal di Amerika Serikat, sementara mereka adalah keluarga Muslim.
Rehman dan sahabat-sahabatnya mengakui dalam Islam juga terdapat banyak ayat Alquran yang menjelaskan Yesus Kristus dan berbagai mukjizat, namun, menurut Rehman, Muslim tidak menganggap Yesus Kristus sebagai “juru selamat”.
Rehman menceritakan mungkin saja Saqib dan Asim saat bulan Desember suasana di New York mendadak berubah, selain banyak salju dan musim dingin, berbagai ornamen Natal dan sinterklas mulai banyak ditemukan di salah satu kota terbesar dunia tersebut.
Rehman merasa tidak puas hanya mempertanyakan dengan sesama muslimah, kemudian dia bertanya temannya pemeluk Yahudi, Nancy.
Dia mendapat saran yang cukup unik dari Nancy. “Coba saja digabungkan (pohon Natal saat Idul Fitri, Red), berani tidak ?,” kata Rehman mengulangi tantangan dari Nancy.
Rehman kemudian menjelaskan lagi tentang ide cukup gila dari Nancy itu kepada Rabia dan Kausar, dan akhirnya dari tahun ke tahun mereka berani menampilkan sesuatu yang berbeda.
Apa yang berbeda? Rehman menjelaskan setelah mendapat saran dari Nancy, maka setiap perayaan Idul Fitri terdapat sedikit unsur Natal.
Rehman menjelaskan biasanya keluarga besarnya setelah menunaikan salat Idul Fitri di sebuah masjid di Manhattan, New York, anak-anak dan cucunya dengan mengenakan baju baru melakukan halal bihalal dengan kerabat sesama Muslim yang tinggal di Amerika Serikat, namun di rumah mereka ada sesuatu yang berbeda yakni hiasan yang berwarna warni seperti lampu di pohon Natal. “Saya tak mempermasalahkan kalau ada tetangga yang bingung,” kata Rehman sembari bercanda.
Perbedaan lainnya, menurut Rehman, biasanya saat Idul Fitri yakni orang yang berusia lebih tua memberikan anak-anak hadiah uang tunai.
“Sebaliknya, kami melakukan tukar kado persis seperti orang-orang yang merayakan Natal, dan meniup terompet,” dia mengakhiri pembicaraan. (wsj.com).
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...