Myanmar Larang Utusan HAM PBB Berkunjung ke Rakhine
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Utusan khusus hak azasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar mengatakan pemerintah Myanmar melarangnya berkunjung ke negara itu untuk memeriksa keadaan sekarang di negara Asia tenggara itu.
Pengumuman hari Rabu (20/12) oleh Yanghee Lee bertepatan dengan pengungkapan oleh militer Myanmar mengenai penemuan 10 jenazah dalam kuburan massal di negara bagian Rakhine, Myanmar barat-laut, di mana lebih dari 600.000 orang Muslim Rohingya pernah bertempat tinggal sebelum mengungsi ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindarkan serangan militer yang brutal.
Kuburan tersebut ditemukan hari Senin (18/12) di desa Inn Din. Tentara mengatakan mereka sedang melakukan penyelidikan.
Lee yang kelahiran Korea mengatakan dia “heran dan kecewa” oleh keputusan pemerintah itu, yang memberi indikasi bahwa ada sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di negara tersebut.
Cemas Banyak Hal
Sementara itu eksodus massal pengungsi Rohingya sudah hampir empat bulan dimulai dari Myanmar ke Cox's Bazar, Bangladesh. Lebih dari 645.000 orang Rohingya yang lolos dari kekerasan dan persekusi di Myanmar tinggal di permukiman kumuh dan penuh sesak.
Survei oleh badan pengungsi PBB (UNHCR) dan 13 organisasi lain mendapati, pengungsi itu membuat jaringan pendukung yang kuat guna membantu mereka mengatasi kesulitan.
Juru bicara UNHCR Andrej Mahecic mengatakan pengungsi mencemaskan banyak hal. Mereka mencemaskan keselamatan, mengingat kondisi tempat penampungan mereka yang kumuh dan lampu penerangan yang buruk pada malam hari.
"Akses ke sanitasi masih belum memadai, sehingga terkadang terjadi antrian panjang untuk ke WC. Perempuan dan anak-anak perempuan mencemaskan ketiadaan kamar mandi tertutup, sehingga terpaksa mandi di luar tempat penampungan pada dini hari," kata Mahecic.
Survei tersebut mendapati sebagian anak harus berjalan jauh untuk mengambil air dan kayu bakar, situasi yang bisa membahayakan mereka.
Mahecic mengatakan, orangtua maupun anak-anak menginginkan akses ke pendidikan dan lebih banyak tempat yang aman untuk anak-anak bermain. Menurutnya, layanan kesehatan juga merupakan masalah besar.
"Peningkatan dukungan kesehatan jiwa bagi mereka yang telah menyaksikan pembunuhan atau mengalami penyiksaan atau perkosaan tetap sangat dibutuhkan. Pengungsi mengungkapkan perasaan depresi dan penolakan berkelanjutan, terutama di kalangan orang tua dan penyandang cacat. Banyak anak muda mengkhawatirkan masa depan mereka yang tidak menentu," imbuhnya.
Selanjutnya, Mahecic mengatakan UNHCR akan menggunakan hasil survei itu untuk memperbaiki program perlindungan dan bantuan bagi pengungsi Rohingya pada tahun mendatang. Ia mengatakan, badan tersebut sudah mulai menyediakan alternatif bagi kayu bakar untuk menangani masalah pekerja anak dan lingkungan.
Ia mengatakan, upaya juga sedang dilakukan untuk memperbaiki kondisi kebersihan dan sanitasi bagi perempuan dan anak-anak perempuan dan menyediakan lebih banyak tempat yang ramah bagi anak-anak di mana mereka bisa bermain dengan aman. Lebih dari separuh populasi pengungsi itu adalah anak-anak.
Pejabat-pejabat kesehatan mengatakan pengungsi sangat rentan penyakit karena tidak banyak tercakup vaksinasi dan tinggal di penampungan yang padat dan tidak sehat yang merupakan tempat berkembang biak penyakit menular. (VOA)
Editor : Melki Pangaribuan
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...