Nasib Inovator Muda Bidang Kanker di Indonesia Ditelantarkan Usai Juara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Viral temuan obat kanker dari kayu bajakah oleh siswa SMAN 2 Palangkaraya, hanyalah satu dari sekian banyak inovasi di bidang pengobatan kanker yang pernah dihasilkan peneliti muda di Indonesia. Namun, ketiadaan dukungan membuat inovasi mereka terancam menguap begitu saja.
Sejumlah peneliti muda di Indonesia, mengeluhkan tidak adanya bantuan bagi mereka untuk melanjutkan riset dan inovasi mereka untuk kemajuan pengobatan kanker di dalam negeri.
Hasil inovasi mereka, beberapa di antaranya bahkan pernah meraih penghargaan bergengsi di ajang kompetisi iptek internasional, terancam berakhir di laboratorium tanpa pernah menjadi produk yang bisa diakses masyarakat.
Keluhan ini misalnya disampaikan oleh peneliti muda dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Wimmy Safaati Utsani, yang menciptakan permen jelly antikanker payudara dari daun sirsak (Annona muricata).
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi UMS ini mengatakan, gagasan membuat permen jelly antikanker ini berawal ketika dia sebagai mahasiswa berprestasi di kampus, didorong untuk meningkatkan prestasi dengan mengikuti kejuaraan kompetisi iptek internasional. Pihak kampus pun bersedia memberikan dana untuk menyokong risetnya.
Prihatin dengan kerentanan perempuan terkena penyakit kanker, khususnya kanker payudara membuat Wimmy membuat obat untuk mencegah perempuan terkena kanker payudara dari herbal daun sirsak.
Wimmy mengaku, dari berbagai jurnal diketahui tanaman ini mampu menghambat kanker, karena mengandung senyawa annonaceous, acetogenins, aasimisin, dan squamosin yang berperan sebagai antikanker.
Ia mengklaim terapi dengan herbal daun sirsak jauh lebih aman dibandingkan dengan kemoterapi.
"Saya ingin meminimalisir risiko perempuan terkena kanker payudara dengan obat dari daun sirsak. Dari berbagai jurnal ilmiah terbukti daun sirsak itu 10.000 kali lebih ampuh dari kemoterapi."
"Kalau kemo biasanya kan efek sampingnya sangat besar sama organ tubuh yang lain seperti rambut rontok dan lain-lain, tapi kalau pakai tanaman herbal itu lebih minim efek sampingnya," katanya.
Dan agar lebih memudahkan penyediaan obat herbal ini, Wimmy meraciknya menjadi berbentuk permen jelly.
"Biasanya daun sirsak ini direbus dan kalau diminum rasanya sangat pahit. Saya pernah mencobanya, jadi saya berpikir bagaimana ramuan herbal ini bisa lebih enak, tahan lama dan mudah untuk dikonsumsi warga khususnya perempuan untuk mencegah mereka terkena kanker payudara."
"Saya terpikir membuatnya dalam bentuk permen jelly,“ kata Wimmy.
Inovasi permen jelly antikanker payudara ini pun kemudian diikutsertakan dalam ajang kompetisi Inovasi Teknologi Internasional (WINTEX) di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jawa Barat pada 2018.
Wimmy berhasil merebut medali perak, mengalahkan peserta lain yang berasal dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Malaysia, Rumania, Sri Lanka, Jepang dan sebagainya.
Namun pasca meraih prestasi ini, nasib permen jelly antikanker ciptaannya menjadi tidak menentu. Pasalnya sokongan dana dan dukungan teknis tidak lagi tersedia untuk meneruskan riset itu sehingga permen jelly antikanker ciptaannya bisa menjadi produk jadi yang siap diedarkan di masyarakat.
"Inovasi saya masih harus diuji praklinis pada hewan dan uji klinis pada manusia. Begitu uji dosisnya dan itu semua butuh dana yang tidak sedikit. Apalagi saya sekarang mahasiswa tingkat akhir, jadi sulit dapat dana hibah penelitiannya," katanya.
"Bantuan dana hanya ada waktu mau ikut lomba saja, setelah itu tidak ada bantuan, ya begitulah," katanya kepada wartawan ABC Indonesia Iffah Nur Arifah, pada Rabu (21/8) yang dilansir abc.net.au,
Wimmy mengaku sedikit kecewa, namun tidak banyak yang bisa dia lakukan.
Beras Analog AntiKanker
Pengalaman serupa juga dialami tiga siswi Sekolah Menengah Atas dan Unggulan (Hafsawati) Ponpes Zainul Hasan di Probolinggo, Jawa Timur yang mengembangkan beras analog antikanker.
Chahyaning Aisyah, Khomsiyah Laili, dan Nanik Nor Laila mengembangkan beras analog dari umbi bernama Suweg (Morphophallus paeoniifolius), yang dicampur dengan sagu dan daun kelor (moringa).
Berdasarkan hasil penelitian, beras analog ini mampu mencegah penyakit diabetes melitus dan kanker. Sebab, indeks glikemik (IG) sangat rendah.
"Nilai IG rendah yang terkandung dalam beras analog terjadi karena kandungan serat pangan dan senyawa fenolik yang terkandung di dalam bahan bakunya. Jadi bisa mencegah penyakit diabetes melitus dan kanker," kata Yenny Rahma, guru pembimbing dalam penelitian itu.
Inovasi mereka sukses meraih medali emas dalam event PCCST International Science Fair di Phatthalung, Thailand, pertengahan Januari 2019.
Namun, serupa dengan inovasi permen jelly antikanker, inovasi ketiga siswi asal Probolinggo ini juga terancam mangkrak karena tidak ada dukungan.
"Kami berharap inovasi ini bisa menjadi produk beras analog yang siap dipasarkan."
"Tapi untuk sampai di sana beras analog ini harus diteliti uji klinis pada hewan dan manusia dulu. Dan kendala yang kami hadapi seputar dana karena itu butuh dana yang cukup banyak," katanya.
"Selain itu siswi kami yang dua juga sudah kuliah di universitas terpisah dan yang masih bersekolah di sini tinggal satu orang."
"Mereka juga sibuk dengan studi masing-masing, jadi kami kekurangan waktu dan SDM juga,” kata Yenny Rahma.
Untuk mengupayakan dukungan dana dan sponsor, pihak sekolah kembali mengikutsertakan inovasi ini dalam beberapa event kejuaraan ilmiah, meski sempat meraih medali emas lagi, namun dukungan dana yang diharapkan hingga kini belum juga tersedia.
Menanggapi hal itu, salah satu siswa, Khomsiah Laili mengaku cukup kecewa.
"Sedikit kecewa sih, karena sayang sekali kalau inovasi kami tidak ditindaklanjuti. Padahal harapan saya ketika mendapat penghargaan, riset kami ini bisa diakui dan berguna bagi khalayak."
"Jadi saya tetap berharap inovasi kami didukung, diakui hak karya kami dan mendapat pengakuan agar tetap bersemangat untuk berkarya," kata Khomsiah.
Pemanduan Bakat Terganjal Anggaran
Sementara itu, pendekatan pembinaan dan pemanduan bakat para peneliti muda yang tidak konsisten ini disayangkan peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Enny Sudarmonowati.
"Harusnya dukungan riset itu tidak hanya demi kepentingan ikut kompetisi ilmiah internasional saja, tapi harus juga disiapkan setelah itu apa harus disediakan link-nya bagi riset mereka," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH) LIPI ini.
Enny Sudarmonowati juga menilai sudah saatnya pemerintah melakukan pemanduan bakat yang lebih baik bagi anak-anak berprestasi.
Menurutnya, kondisi ini kontraproduktif bagi masa depan dunia riset dan teknologi Indonesia. Ia mencontohkan kasus temuan obat kanker dari kayu bajakah oleh siswa SMAN 2 Palangkaraya yang viral baru-baru ini.
"Kalau ada penelitian dari siswa SMA tentang obat kanker seperti ini harusnya disambut dan dilanjutkan oleh lembaga penelitian. Jadi satu bahan yang diduga berkhasiat untuk kanker ini dikerjakan secara keroyokan, ada yang meneliti kelestarian tanamannya di alam, ada yang meneliti spesies apa yang paling bagus untuk obat, sampai akhirnya bisa jadi obat kanker fitofarmaka atau obat herbal yang terstandarisasi,” katanya.
Sementara itu, menanggapi keluhan peneliti muda ini, Dirjen Penguatan Inovasi dari Kemenristekdikti, Jumain Appe, mengakui hingga saat ini mekanisme pemanduan bakat dari para peneliti muda ini masih banyak kekurangan.
Ia menyebut, salah satu kendala utamanya adalah mekanisme birokrasi anggaran.
"Mekanisme administrasi anggaran yang berlaku saat ini belum memungkinkan kita untuk mengambil langsung anggaran untuk mendanai riset pelajar dan mahasiswa seperti ini. "
"Tapi harus lewat aturan yang mencakup proses seleksi, pengajuan proposal. Jadi ini kendala kami tidak bisa bertindak cepat mewadahi inovasi di sekolah dan mahasiswa," kata Jumain Appe.
Namun Jumain Appe mengatakan, mekanisme ini sedang dalam peninjauan untuk diperbaiki agar lebih mampu mendukung inovasi di sektor pendidikan dan juga pemanduan bakat bagi anak-anak berprestasi.
"Mestinya kita secara institusi memanggil anak-anak berprestasi itu untuk melihat sampai mana tingkat teknologi yang sudah dicapai mereka. Tingkat kesiapan teknologi itu levelnya dari 1-9. Biasanya kalau ditingkat sekolah atau perguruan tinggi itu baru pada tingkat 5, dan untuk jadi produk yang bisa digunakan di pasar itu harus sampai pada level 9."
"Juga untuk anak-anak berprestasi ini mereka harus juga dipandu masuk ke perguruan tinggi mana yang cocok untuk melanjutkan risetnya, dan kalau perlu bebas tes. Nanti skripsi mereka juga fokus ke risetnya dan terus lanjut sampai tingkat S-2, jadi inovasi harus seperti itu,” katanya.
Perubahan ini menurutnya akan didukung oleh sokongan Dana Abadi Riset dan Inovasi senilai 5 triliun rupiah.
Presiden Joko Widodo, di termin kedua pemerintahannya bertekad akan menjadikan inovasi sebagai solusi dari setiap masalah di dalam negeri. Ia ingin ada sinergi yang lebih kuat antara inovasi dan swasta.
Namun mendorong inovasi dan penelitian di dalam negeri adalah sebuah pekerjaan rumah besar, mengingat Indonesia dalam hal ini sangat jauh tertinggal.
Global Innovation Index (GII), 2018, yang memuat peringkat kualitas inovasi dan penelitian dalam pembangunan ekonomi dunia mencatat, Singapura berada di peringkat 1 untuk kawasan ASEAN dengan skor 59,8 dan menempati 5 besar dunia,
Sementara Indonesia menempati peringkat ke-2 dari bawah di ASEAN dan peringkat 85 dunia. Kalah jauh dengan Malaysia dan Thailand yang menempati posisi ke- 35 dan 44 dunia.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...