Nasionalisme Kartini untuk Seni Kriya Jepara
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Berbicara tentang Raden Ajeng Kartini tentu tak bisa dilepaskan dari emansipasi dan feminisme. Tak sekadar sosok yang memperjuangkan kaum perempuan, Kartini ternyata juga menaruh perhatian pada ekonomi kreatif. Salah satunya adalah seni kriya Jepara dan identitasnya sebagai produk asli orang-orang Jawa.
Bukti paling sahih yang menunjukkan ketertarikan puteri Jepara ini terhadap seni kriya adalah surat-surat yang dikirimkan pada karib penanya di Belanda. Dalam surat-surat tersebut, Kartini juga menyinggung tentang seni kriya Jepara dan berupaya untuk mengembangkannya. Salah satunya dilakukan oleh Kartini dengan ambil bagian dalam pameran di Den Haag, Belanda pada 1898.
“Surat-surat Kartini juga memberi perhatian pada masalah-masalah kemasyarakatan, bukan hanya perempuan. Masalah kemasyarakatan ini salah satu contohnya adalah upaya peningkatan ekonomi kreatif berupa seni kriya Jepara. Kartini berusaha memperkenalkan seni kriya Jepara ini dalam sebuah pameran kesenian di Den Haag pada tahun 1898,” ujar Daniel Fritz Tangkilisan dari Komunitas Rumah Kartini.
Dalam mengupas soal Kartini yang concern dengan masalah seni ini, Daniel tak sendirian. Seorang karib yang juga berasal dari Komunitas Rumah Kartini, M. Afif Isyarobi, juga turut mengupas tentang sosok pahlawan emansipasi ini.
Paparan kedua orang ini tersaji dalam Seminar Hari Kartini “Refleksi Perjuangan RA. Kartini dalam Meningkatkan Peran Perempuan untuk Membangun Karakter Bangsa”. Selain kedua narasumber di atas, seminar yang diselanggarakan oleh Mahasiswa Jogjakarta Jepara (Maskara) pada Sabtu (25/4) di Ruang Teatrikal, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini juga menampilkan dua narasumber lain, yaitu drs. Hadi Priyanto, MM. (Kabag. Humas Pemkab. Jepara), dan Dr. Mukodi, M.Si (Dosen STKIP PGRI Pacitan).
Daniel menambahkan, ekonomi kreatif berujud seni khas Jepara tak hanya bertumpu pada seni kriya semata. Ketika ikut ambil bagian dalam pameran di Den Haag pada 1898, Kartini juga mengenalkan seni batik.
“Pada pameran di Den Haag itu, untuk pertama kalinya orang Belanda melihat secara langsung orang membatik,” ujar Daniel.
Menurut Daniel, keikutsertaan Kartini untuk pertama kalinya dalam pameran kesenian tersebut merupakan cara untuk memperkenalkan seni kepada dunia internasional. Upaya promosi Kartini lainnya adalah mengirimkan berbagai produk seni ke Belanda, seperti lukisan, produk seni kriya, hingga batik lengkap beserta cara membatik.
Upaya yang dilakukan oleh Kartini cukup berhasil dengan mulai dikenalnya seni khas Jawa ini. Orang-orang Belanda juga mulai tertarik untuk mengadopsi hasil seni tersebut. Bahkan beberapa karya seni di Eropa diakui oleh senimannya terinspirasi dari seni Jawa. Salah satunya adalah mural karya Johan Thorn Prikker berjudul “The Game of Life” (1901-1902).
“Orang-orang Belanda mulai berfikir bahwa seni di Jawa tersebut adalah milik mereka karena anggapan Hindia Belanda merupakan tanah jajahan yang secara otomatis adalah tanah milik mereka. Namun, Kartini berfikiran lain. Kartini seolah berkata, ‘Ini bukan punya kalian, ini punya kami. Ini punya orang Jawa’,” jelas Daniel.
Editor : Sabar Subekti
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...